Suara Pembaharu ideas 2018

Oleh: Razikin Juraid
(Direktur Eksekutif Elektoral Institut/Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI)
Razikin Juraid
Partai Golkar memang "berkelas", partai golkar mewarnai perpolitikan Indonesia, tidak akan bisa memahami dinamika politik Indonesia sejak Orde Baru tanpa melihat faktor partai golkar, partai golkar salah lumbung calon pemimpin nasional dan partai golkar adalah raksasa yang tertidur. Sejak pasca reformasi 1998 partai golkar mengalami penyingkiran dari pusat kekuasaan, partai golkar mengalami kegagalan memimpin eksekutif dan pada saat yang sama golkar terus diilanda konflik internal yang berujung pada hengkangnya kader-kadernya seperti Wiranto yang kemudian membentuk Partai Hanura pada 13 November 2006, Prabowo Subianto dengan membentuk partai Gerindra pada 6 Februari 2008, lalu disusul oleh Surya Paloh yang mendirikan partai Nasdem pada tanggal 26 Juli 2011. Pasca pemilu Presiden 2014, golkar kembali dilanda konflik yang kemudian melahirkan dua kepengurusan, yakni Aburizal Bakrie versi Munas Bali dan Agung Laksono versi Munas Ancol Jakarta.

Berabagai skenario ditempuh untuk mendamaikan dua faksi yang berkonflik-pun dilakukan, para sesepuh turut ambil bagian, mulai dari mantan Presiden BJ. Habibie, mantan Ketua Umum yang juga Wapres Yusuf Kalla, Akbar Tanjung serta sederetan tokoh-tokoh senior hingga kader-kader muda. Kenapa begitu rumit mengurai benang kusut konflik internal partai golkar? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, setidaknya ada dua persoalan yang akan diketengahkan dalam tulisan ini, pertama, tersumbatnya kanal demokrasi internal golkar yang berakibat pada terkonsentrasinya kekuasaan dan sumber material pada faksi Aburizal, kedua, akibat dari persoalan pertama, kemudian faksi diluar faksi Aburizal mengkonsolidasi diri dan semakin sulit dijinakkan dengan terbatas kekusaan dan sumber-sumber material setelah golkar memilih berada diluar pemerintahan. Dan satu-satunya yang diperebutkan adalah menguasai struktur partai.
Tersumbatnya kanal demokrasi yang dimaksudkan adalah terjadi pada proses pemilihan ketua umum serta proses pengambilan keputusan partai oleh Ketua Umum yang dinilai tidak trasnparan dan cenderung mengabaikan aspirasi sebagian pengurus lain. Padahal sejatinya partai dituntut untuk menjunjung demokrasi dalam pengambilan keputusan-keputusan penting dengan melibatkan semua unsur pimpinan. Meskipun demokrasi internal partai dibuka, akan tetapi tidak menjamin bahawa proses politik dipartai terjadi secara demokratis, boleh jadi demokrasi yang dipraktekkan merupakan demokrasi prosedural-artifisial, hal inilah yang dianggap oleh kubu Agung Laksono pada Munas Golkar di Bali 2014, Munas tersebut dicurigai ada skema sistematis yang dijalankan sebagai jalan memuluskan Aburizal agar kembali memimpin Golkar atau dengan kata lain adanya pengkondisian para pemilih untuk memilih  Aburizal.

Keengganan untuk membuka pertandingan yang demokratis pada Munas Bali tersebut, kemudian ditunggangi oleh faksi Agung Laksono dengan mengkonsolidasi sentimen kekecewaan kader terhadap kepemimpinan Aburizal yang dianggap tidak mampu menjadikan Golkar sebagai partai pemenang pemilu legislatif, lebih-lebih kegagalan golkar mengusung Capres maupun Cawapres pada pemilu 2014 dari kader internal. Menurut Paul G Lewiss (2000), faksionalisasi didalam partai politik dapat dipahami sebagai suatu pola yang bersifat sementara dan taktis dan terjadi pada isu-isu tertentu yang merupakan ciri partai modern. Karena itu pimpian partai harus punya kemampuan menyelesaikan berbagai masalah secara demokratis. Justeru terjadi di golkar adalah kekurangcekatan Aburizal menyelesaiakn sederetan persoalan sementara faski-faksi terkonsolidasi yang bermuara pada melemahnya kesatuan dan retaknya kekompakan dalam tubuh Golkar.

Sementara Belloni secara lebih jauh melihat bahwa munculnya fasksionalisasi disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, faksi terbentuk karena adanya persamaan pandangan politik, faksi model ini tidak didasarkan pada ikatan yang bersifat formal. Kedua, faksi yang terbentuk melalui pola patron-klien. Faksi model ini dipengaruhi oleh faktror kepemimpinan individu, yaitu persaingan tokoh-tokoh berpengaruh dari suatu partai yang mempunyai konstituen yang jelas. Ketiga,faksi yang formal dan terorganisir, faksi ini memiliki kejelasan berupa nama resmi dan memiliki kesekretariatan yang jelas beserta program yang rutin dan tersendiri. Dari tiga model faksi tersebut, dapat dijelaskan bahwa, konflik partai golkar berada pada level faksi patron klien lalu kemudian berkembang menjadi fakasi formal, itulah yang tergambar dalam dengan dua kepengurusan yaitu faksi Golkar Versi Munas Bali dan faksi Munas Ancol Jakarta. Konflik tersebut semakin rumit dan menguras energi, berbagai ramalan menyatakan ini adalah akhir dari kedigdayaan Golkar (the end of Golkar).

Kedewasaan Aburizal dan Agung Laksono

 The end of golkar, untuk sementara dapat dihindari dengan adanya kesepakatan-kesepatakan untuk mengkahiri konflik dengan melaksanakan Munaslub pada tanggal 23-26 Mei 2016. Proses pengakhiran konflik ini dapat terjadi paling tidak karena adanya kerelaan antara dua tokoh untuk “duduk bersama” tanpa mengurangi peran dari tokoh-tokoh senior atau seluruh kader partai golkar. Tanpa ada keinginan kuat dua tokoh yang berkonflik hampir dapat dipastikan konflik akan tetap berlanjut dan boleh jadi akan lahir partai baru dari rahim konflik partai Golkar Aburizal dan Agung merelakan untuk mengurangi ego personalnya demi sesuatu yang lebih besar, demi integrasi partai golkar, demi sehatnya perpolitikan di Indonesia. Kompromi politik yang sangat apik tengah dipraktekkan keduanya, tentu kompromi politik mengandaikan ada sesuatu yang ditransaksikan, yakni saling mengamankan kepentingan politik diantara keduanya.

Pada konteks itulah, saya menyebut sikap Aburizal dan Agung memilik kedewasaan ditamba lagi dengan kesepakatan diantara keduanya untuk bersama-sama tidak kembali mencalonkan diri pada Munaslub mendatang. Kesepakatan tidak mencalonkan diri keduanya, memunculkan optimisme bagi reintegrasi partai golkar. Pertama, membuka ruang demokrasi yang sehat pada Munaslub, artinya antara faksi Aburizal dan Agung masing-masing memiliki kesempatan untuk mengawasi jalannya Munaslub. Kedua, tidak ada tokoh dominan dalam pertandingan perebutan kursi ketua umum Golkar, hal ini tergambar jelas dengan munculnya delapan calon kader yang mencalonkan diri sebagai ketua umum, dengan masing-masing merasa berbeluang untuk memenangkan pertandingan. Ketiga, menjawab ekspektasi kader-kader Golkar yang ingin melihat semua petinggi golkar bersatu kembali, artinya munaslub membuka ruang konsolidasi bagi semua unsur partai golkar untuk menyiapkan diri menghadapi Pikda 2017 dan pemilu 2019.

Menurut Gerald M. Pomper, seorang Guru Besar Rutger University Amerika Serikat,fungis Munas selain menyaring kandidat calon ketua umum, munas juga memiliki tiga fungsi. Pertama, melahirkan aturan-aturan seleksi rekruitmen dan keanggotaan partai. Kedua, wadah untuk memenuhi electoral suara dan memenangkan pemilu, ketiga, munas partai dilakukan untuk menetapkan platform partai yang bianya didasarkan pada aksi-aksi pemerintah yang sedang berkuasa.    

Sebuah Rekomendasi

Ada sederetan persoalan yang menjadi pekerjaan rumah bagi partai politik, beberapa persoalan pelik yang dimkasud adalah seperti (1), mekanisme internal dikuasai oleh sekelompok elit, (2) rekruitmen kader untuk jabatan-jabatan politik masih didominasi oleh hubungan kekerabatan dan sistem rekruitmen yang transaksional, (3) pragmatism yang kuat tercermin dalam koalisi politik dan proses legislasi di parlemen, (4) lemahnya keberpihakan pada keterlibatan kelompok-kelompok marginal dalam proses politik, seperti afirmasi untuk perempuan dan disabilitas, (5) menggejalanya perilaku koruptif elit partai dan (6) menajemen internal partai yang lemah dan sentralistik.

Pada titik inilah Munaslub direkomendasikan untuk membicarakan setidaknya dua hal penting sebagai upaya mengembalikan kepercayaan publik terhadap golkar, pertama, merumuskan format reformasi internal partai golkar sebagai upaya memperkuat kelembagaan partai melalui pola rekruitmen kader berbasis meritokratik. Kedua, memaksimalkan fungsi intermediary, hal ini sangat urgen mengingat partai politik dianggap tidak lagi menjadi kanal bagi penyaluran aspirasi rakyat dengan kata lain partai politik cenderung berselingkuh dengan kekuasaan pada saat sama menjauhkan diri dari rakyat. Lalu apakah Munaslub nanti betul-betul sebagai kanal terintegrasinya seluruh kekuatan yang berserakan selama ini ? Semoga.

Post a Comment

Suara Pembaharu

{picture#https://lh3.googleusercontent.com/-KxCpQnd7tqI/AAAAAAAAAAI/AAAAAAAAAJk/t239p-tSaZY/s120-c/photo.jpg} Media Online, Suara Pembaharu. Menyajikan Informasi Aktual & Terpercaya. {facebook#http://facebook.com} {twitter#http://twitter.com} {google#http://google.com} {youtube#http://youtube.com} {instagram#http://instagram.com}
Powered by Blogger.