Erhindi |
Apakah Descartes, Nietzsche, Foucault atau Derrida penentang kebenaran yang berbalik menjadi sang penerompet kegilaan? Tidak semuanya yang berhubungan unsur satu dengan lainnya memadai.
Bukan realitas, tetapi dunialah yang harus diungkap, bukan sebagai kebenarannya tetapi suatu ilusi yang berlapis-lapis. Kita perlu menjerat realitas, kita perlu lebih cepat dari dibanding kecepatan suara. Idenya berkisar tentang lenyap lebih cepat dibanding bayangannya sendiri. Akan tetapi, jika idenya terlalu cepat dibanding bayangannya sendiri bahkan hingga bayangannya sendiri kabur dan pergi, maka tidak lagi memiliki ide yang paling kelabu. Bukan hanya kata-kata mendahului maknanya, tetap juga jika terlalu cepat mendahului, segalanya akan menjadi kegilaan belaka. Bahkab pelepasan makna bisa orang kehilangan cita rasa terhadap maknanya. Bagaimana mungkin kita pertukarkan ampas, nilai guna, nilai surplus, hantu-hantu dan kejujuran intelektual kita? Apa yang dapt kita peroleh jika kita jual semuanya terutama jiwa kita pada setan? Hal ini sulit dibayangkan.
Sesungguhnya kita hidup "sebatang kara" dari kenyataan yang datangnya terlalu pelan atau lambat. Nampaknya setiap kebenaran, berita hangatnya-trending topicnya datang setelah ^waktunya ditunda^. Dalam peristiwa yang cepat, peristiwa-peristiwa memiliki suatu perlawanan yang menelan maknanya sendiri, dimana konsekuensinya adalah seperti "cermin retak dan buram", "kolam yang keruh" atau "lubang hitam" yang tidak bisa merefleksikan dan memancarkan sesuatu. Peristiwa-peristiwa tetap tinggal peristiwa, dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya dan tidak pernah terlalu terlambat bagi kerahasiahaannya, tetapi masih selalu dalam terkamannya dan di luar maknanya. Mungkin juga yang terlambat tidak lebih dari daur ulang atau penafsiran dan penyaluran atas sesuatu.
Daur ulang dan penyaluran hanyalah bayangan di depan kita dari peristiwa yang tidak dapat dibayangkan atau dipikirkan. Lalu apa yang harus kita lakukan? Buatlah nyaman dengan kegilaan! Kegilaan muncul bukanlah gara-gara penyakit syaraf, melainkan kegilaan datang setelah tidak ada lagi orang-orang gila yang berada di jalan, di rumah sakit gila dan tempat lainnya. Kegilaan lahir dari kegilaan, dari sesuatu yang tidak terpikirkan sebelumnya datang lebih cepat dibanding otak komputer, pikiran dan hasrat itu sendiri. Nafsu berpesta pora dan menggoda dalam pemakaian bahasa, pemusatan segala sesuatu pada nalar dan bersifat spiritual. Kegilaan tidaklah seperti pemikiran yang kacau dan rusak akibat viru yang berbahaya, yang menjijikkan logika atau membusukkan pikiran dan membangkaikan makna, tetapi segala datang dari sesuatu yang tidak kita ketahui tentang refleksi atas malapetaka dan kebahagiaan yang palsu. Seakan-akan kegilaaan membangun sendiri sebuah gudang yang menyimpan kebusukan dan bahaya besar di luar dirinya sendiri.
Dunia yang terpotong-potong menguatkan realitas yang terbagi dalam bagian-bagian terkecil siap ditelan ilusi, seperti "Tuhan" dalam instagram atau media sosial. Ia telah mengambil seluruh ilusi dari kita, yang muncul kembali di sekitar kita searah dengan munculnya ironi dalam dunia dan pikiran yang obyektif. Ironi merupakan bentuk universalitas gambar terbalik yang dengannya dunia kembali menjadi ironi yang dilakukan oleh teka-tekinya sendiri. Ironi hanyalah hasil cangkokan religius yang linglung dan sesak nafas hingga mati dalam kehidupan ini. Ia merupakan saluran tunggal rahasia yang mengerikan dan kita tidak dapat memikirkannya kembali.
Zaman ini, kita tidak membutuhkan lagi suatu teori-teori kritis, kesadaran kritis atau teologi pembebasan untuk kenyataan dunia yang tidak memantulan dan menghitamkan gambarnya, suatu tubuh di depan cermin tanpa bayangan, akhirya melumat dan memangsa bayangannya sendiri. Bahkan kecerdasan apapun teorinya sesungguhnya tidak lebih dari titik pantulan yang berlebihan terhadap ironi dan ilusi universal. Sedangkan tubuh kita sendiri tidak tega dan kewalahan untuk menyusun kembali maknanya yang hancur ditelan oleh maknanya sendiri, seperti cermin rongsokan yang dibuang di tempat sampah sejarah masa depan.
Jean Fracois Lyotard melihat spesies manusia baru *(Instan)* telah datang dan masih bergelut dengan bayangannya sendiri hingga kegilaan tidak mampu lagi kita bangun sebagai suatu frase, sintaksis atau logika baru. Terhadap tatapan ini, spesies baru atau mungkin tidak selamanya pernah baru, seperti kecantikan yang dipoles atau kulit yanf dibedah plastik. Pernahkah kita lebih gila dari kegilaan itu sendiri? Adakah manusia telah berada dalam cermin bening? Apakah tubuh manusia seimbang dan koordinatif sehingga cermin tidak dapat merefleksikannya? Kita sendirinya akhirnya sulit mendefinisikan kembali rahasia atau teka-teki di saat kita menatap dalam kegilaan di dalam diri. Sebaliknya cermin kita juster diketahui datang dari pihak luar atau orang lain dengan segenap rahasia yang dipendamnya. Kegilaan bukanlah seperti cermin yang tidak menjamin penampilan kita sebenarnya. Kegilaan adalah cara terbaik untuk memaafkan diri kita. Kegilaan mengilusikan gambar dunia dan bentuk kemunafikan; kegilaan datang dan pergi dengan kegilaannya. Ia tidak perlu untuk diwaraskan kembali, karena kewarasan tertinggi dari pikiran adalah kegilaan. Semakin disingkirkan kegilaan dalam diri kita, maka akan muncul kegilaan yang lain.
Post a Comment