Denpasar, suarapembaharu.com - Menyikapi berbagai fenomena dinamika sosial politik belakangan ini yang dinilai beberapa pihak mulai terkoyak, khususnya mengenai lunturnya toleransi di Indonesia membuat Forum Komunikasi Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) Bali dan DPD Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Bali menyelenggarakan diskusi yang bertajuk “Mengukuhkan Semangat Kebhinekaan: Indonesia Adalah Kita”.
Acara yang digelar di Wantilan Toko Oleh-oleh Dewata, Denpasar, Minggu (29/1) mengundang berbagai praktisi dan aktivis sosial masyarakat, diantaranya Mantan Komisioner KPU RI, I Gusti Putu Artha, Ketua LBH Muhammadiyah Bali, Zulfikar Ramly, Wakil Ketua MUI Pusat, Irjen. Pol (Purn.) H. Anton Tabah, dan Pemerhati Sosial, Wayan Suryatarta.
Wakil Ketua MUI Pusat, Irjen. Pol (Purn.) H. Anton Tabah mengaku bangga dengan tingginya toleransi di Bali. Bahkan, menurutnya berdasarkan survey yang dilakukan oleh Kemenang RI di tahun 2015 menempatkan Bali sebagai daerah nomor dua paling toleran di Indonesia setelah Nusa Tenggara Timur (NTT). Adapun tiga daerah dengan kerukunan agama tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (83,3 persen), Bali (81,6 persen) dan Maluku (81,3 persen).
"Bali nomor dua paling toleran di Indonesia, berdasarkan surveynya Kemenag. Toleransi terbaik itu di Indonesia," jelasnya.
Bahkan menurut Purnawirawan Jenderal berbintang dua ini memperbandingkan toleransi di Indonesia dengan yang terjadi di Eropa atau Amerika, dimana menurutnya banyak terjadi pelarangan dan penutupan tempat ibadah. "Saya tidak mungkin menyangka rumah ibadah seperti masjid dizinkan di Eropa dan Amerika, beda dengan di Indonesia yang toleran," paparnya.
Namun, pria asal Yogyakarta ini mengaku prihatin dengan semakin tingginya kasus intoleransi yang semakin meninggi di Indonesia. Bahkan, ia mengatakan situasi ini mirip dengan zaman PKI di era 1965.
"Situasinya kok mirip bagaimana seperti jaman PKI dulu, semua konflik, antar desa, agama, suku," jelasnya.
Mantan Komisioner KPU RI, I Gusti Putu Artha menyatakan bahwa saat ini di Indonesia sedang terjadi pertarungan antar elite politik terkait perebutan sumber daya yang ada di negeri ini, baik alam maupun manusia. Sehingga, hal ini yang memicu munculnya kelompok-kelompok fundamentalis di berbagai agama.
"Ini adalah pertarungan sumber daya diantara bangsa dan tokoh-tokoh politik. Di agama apapun selalu ada kelompok fundamentalis," ungkapnya.
Pria asal Buleleng ini mengatakan bahwa di Bali juga terdapat politisi-politisi yang menggoreng isu-isu SARA, khususnya menjelang helatan Pilgub 2018. Artha bahkan mengatakan bahwa politisi yang melakukan hal tersebut sebagai seorang fundamentalis. "Di Bali juga ada politisi yang selalu menggoreng isu politik. Ya itu juga orang fundamentalis," tegasnya.
Dirinya juga mengatakan bahwa sebenarnya sikap toleransi merupakan kekayaan terbesar bagi Bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Bali. "Kekayaan terbesar kita di situ," kata Artha.
Ia bahkan mengaku terusik dengan mulai banyaknya perilaku-perilaku intoleran yang terjadi di Indonesia, termasuk di Bali. Sehingga, ia berharap kepada dua ormas Islam di Indonesia yakni Muhammadiyah dan NU tetap masih eksis aman toleransi," dan mantan aktifis menegaskan bahwa di Bali tidak ada perang berdasarkan agama, selama masih ada toleransi di kalangan masyarakat Bali. "Tidak ada perang agama di Bali," singkatnya.
Senada dengan Artha, Ketua LBH Muhammadiyah Bali, Zulfikar Ramly menegaskan bahwa akhir-akhir ini mulai ada kelompok-kelompok kecil yang merusak toleransi di Bali. Akan tetapi, dirinya tidak mau membahas lebih dalam.
"Akhir-akhir ini mulai ada kelompok kecil yang merusak toleransi di Bali," paparnya.
Sehingga dirinya mengajak berbagai elemen yang ada di Bali untuk menjaga toleransi di Bali agar aman. Bahkan ia, mengingatkan agar jangan membawa-bawa isu intoleran yang ada di luar Bali ke Bali.
"Sekarang bagaimana kita menjaga, kita harus berbuat untuk Bali biar aman. Jangan minum di sana, mabuknya di sini," tegasnya.
Ketua Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali, Jero Gede Suwena Putus Upadesha prihatin terkait lunturnya toleransi di Indonesia. "Kita dalam keprihatinan negara kita," katanya.
Padahal sambungnya, kebhinekaan yang ada di negeri ini sudah ada sejak jaman Sriwijaya dan Majapahit. Bahkan menurutnya, sudah tertulis di dalam Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular di abad ke-XIV.
"Kebhinekaan sudah ada sejak sebelum kemerdekaan, sudah ada sejak jamam Sriwijaya tahun 400 dan Majapahit tahun 1400 yang ditulis juga di Kitab Sutasoma yang berbunyi Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma.mangrwa,"
Dilain pihak pemerhati Sosial, Wayan Suryatarta menegaskan bahwa sebenarnya tidak ada organisasi radikal di Bali. Namun, menurutnya yang ada hanya ada oknum-oknum yang ingin menghancurkan tatanan kedamaian yang ada di Bali.
"Tidak ada organisasi radikal, yang ada oknum-oknum tertentu yang ingin menghancurkan ini semua," tukasnya. (Lizi)
Post a Comment