![]() |
Razikin Juraid |
Pertanyaan ini sebetulnya jauh-jauh hari sudah dilontarkan oleh Paul Whitley sebagaimana dikutip oleh Mitzner (2013), dalam bukunya tentang partai politik di Indonesia pasca otoritarianisme seolah menggambarkan dukungan terhadap partai mengalami penurunan. Para ahli ilmu politik melihat, bahwa rendahnya kepercayaan terhadap partai politik telah muncul sejak 1960-an, disebabkan terutama karena partai politik meninggalkan fungsi pokoknya dan fungsi pokok partai dilaksanakan oleh kelompok-kelompok gerakan sosial. Sementara ilmuwan politik terkemuka Alan Ware, menyatakan ketidakpercayaan terhadap partai politik terjadi sejak 1970-an. Ketidakpercayaan terhadap partai politik sebetulnya bertentangan dengan logika demokrasi modern, dimana partai politik merupakan mekanisme kunci bagi representasi politik dan keberlangsungan demokrasi.
Rendahnya dukungan terhadap partai politik di era modern sekarang ini, bahkan terjadi di negara-negara maju, di negara-negara pascakomunis, malah melintasi kawasan Eropa, Amerika Latin, Asia Timur dan Asia Tenggara, gejala ini disebut oleh Larry Diamond sebagai gejala mendunia. Di negara-negara maju, proporsi populasi yang mengidentisikasi dirinya dengan partai politik (party identification) telah menurun dalam 25 tahun terakhir. Gejala tersebut menurut Larry Diamond, sebagai tren yang bersifat generatif, saat warga negara usia muda dan berpendidikan baik cenderung rendah tingkat loyalitasnya terhadap partai politik meskipun memiliki kepentingan dan keterlibatan dalam aktivitas politik yang tinggi. Begitu juga di negara-negara semokrasi “dunia ketiga”, hubungan dengan partai politik semakin longgar, dan yang terjadi adalah sikap sinisme terhadap partai politik dan politisi yang berdampak pada stabilitas demokrasi di negara-negara demokrasi baru.
Larry Diamond (2001) dan Miezner (2013) memperlihatkan data survey tentang rendahnya kepercayaan pada partai politik.
Pertama, rendahnya kepercayaan pada partai politik dan politisi, misalnya di 17 Negara Amerika Latin, hanya 1 dari 5 warga negara yang menunjukkan sikap agak percaya (a lot or some) terhadap partai politik, sedangkan 17% lainnya tidak percaya sama sekali. Pada dua Negara Korea serta negara-negara pascakomunis, tingkat kepercayaan atau keyakinan pada parlemen hanya 22%. Kedua, turunnya angka partisipasi pemilih yang menggunakan hak suara dalam pemilu (electoral turnout), misalnya di Inggris, partisipasi pemilih sekitar 80% pada tahun 1950-an, pada akhir 1990-an menurun menjadi 70%, dan perlahan-lahan menurun ke 60%. Di Jerman pada tahun 1970-an tingkat partisipasi mencapai 90% kemudian pada 2009 menurun menjadi 70%.
Lalu bagaimana dengan Indonesia, pemilu pertama setelah reformasi, partisipasi pemilih mencapai 80% lalu perlahan menurun menjadi 70%, apalagi dalam pemilihan kepala daerah tingkat partisipasi sangat rendah hanya berkisar antara 50-60%. Selanjutnya, tingkat identifikasi diri warga negara terhadap partai politik juga menurun secara signifikan pada saat yang sama ikatan idiologis melemah dan pragmatisme menguat. Contoh kasus di Inggris identifikasi terhadap partai politik, menurun dari 80% pada tahun 1970 menjadi 50% pada tahun 2000. Jerman pada tahun 1970 tingkat partisipasi berkisar di 60% menjadi 30% pada tahun 2000.
Di Indonesia juga mengalami hal serupa, laporan hasil survey Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2012, kepercayaan publik terhadap partai politik berkisar 48,3%, dan jumlah responden yang tidak percaya pada partai politik 32,5%. Kondisi tersebut kemudian dapat meningkatkan pemilih mengambang dan pragmatis (pragmatic swing voters) yang dipengaruhi oleh iklan-iklan politikm hasil opini public, berita media, rasa simpati pada politisi tertentu, atau penilain terhadap kinerja pemerintah.
Hal lain yang menjadi faktor menurunnya kepercayaan publik terhadap partai politik adalah karena partai politik menarik diri persoalan masyarakat lalu partai politik meleburkan dirinya dengan negara dengan kata lain terjadi kartel politik. Teori kartelisasi Richard Katz dan Peter Mair (1995) menerangkan bahwa, partai politik membentuk kerja sama (kartel) untuk mengamankan atau menikmati sumber-sumber daya dari negara, partai politik menetapkan akses ke sumber-sumber keuangan negara dan menyepakati besaran pembagian diantara mereka.
Pembenahan Partai Politik
Dari uraian tersebut, langkah politik Ahok menuruti permintaan tim suksesnya yang tergabung dalam Teman Ahok, untuk ikut bertanding dalam Pilgub DKI mendatang melalui jalur independen dengan mengabaikan partai politik, merupakan langkah politik yang memiliki argumentasi teoritis dan historis, sekaligus lonceng bagi partai politik untuk berbenah diri, karena partai politik merupakan instrumen fundamental bagi demokrasi dan keberlangsungan demokratisasi di Indonesia.
Hasil kajian Puskapol FISIP UI pada tahun 2008, ada sederetan persoalan yang sedang dialami partai politik, (1), mekanisme internal dikuasai oleh sekelompok elit, (2) rekruitmen kader untuk jabatan-jabatan politik masih didominasi oleh hubungan kekerabatan dan sistem rekruitmen yang transaksional, (3) pragmatism yang kuat tercermin dalam koalisi politik dan proses legislasi di parlemen, (4) lemahnya keberpihakan pada keterlibatan kelompok-kelompok marginal dalam proses politik, seperti afirmasi untuk perempuan dan disabilitas, (5) menggejalanya perilaku koruptif elit partai dan (6) menajemen internal partai yang lemah dan sentralistik.
Dalam konteks itu, reformasi internal partai politik menjadi penting dengan memperkuat kelembagaan partai politik melalui pola rekruitmen kader berbasis meritokratik yakni rekrutmen didasarkan dan diarahakan pada orang yang memiliki keahlian dan kapasitas tertentu. Dilevel ini, kompetensi menjadi ukuran penting, disamping itu partai politik perlu meningkatkan kaderisasi secara kuantitatif lebih-lebih secara kualitatif, dengan demikian partai politik dapat terhindar dari deparpolisasi, dan demokrasi dapat berlangsung secara lebih.
Post a Comment