(Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI/Ketua Bidang Sosial-Politik Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Indonesia).
Razikin Juraid |
Dalam mengambil keputusan memberhentikan Arcandra, Presiden mungkin terinspirasi dari kalimat paragraf kedua teks proklamasi kemerdekaan yaitu HAL-HAL YANG MENGENAI PEIMINDAHAN KEKUSAAN DAN LAIN-LAIN DISELENGGARAKAN DENGAN CARA SEKSAMA DAN DALAM TEMPO YANG SESEINGKAT-SINGKATNYA. Disamping itu, keputusan tersebut diambil untuk mengakhiri polemik dan dibacakan dalam waktu yang tepat satu hari sebelum perayaan 17 Agustus. Pada perayaan 17 Agustus, Presiden bisa keluar dari tekanan publik, karena pada 17 Agustus baik lawan politiknya maupun kawan politik Presiden terfokus merayakan hari yang sangat bersejarah bagi Indonesia.
Ceritanya akan berbeda apabila Presiden memberhentikan Arcandra pada hari-hari setelah 17 Agustus. Tentu pilihan Presiden memberhentikan Arcandra memiliki alasan subjektif maupun alasan konstitusional sebagaimana juga alasan ketika Arcandra diangkat sebagai menteri. Meskipun alasan utama yang muncul kepermukaan adalah Arcandra memengang dwikewarganeraan, karena Indonesia tidak mengenal dwikewarganeraan.
Konsolidasi Kabinet Belum Selesai
Sejak dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014, Presiden Joko Widodo terhitung sudah kali melakukan perombakan kabinet, perombakan pertama pada 12 Agustustus 2015 dan kedua 27 Juli 2016. Bongkar pasang kabinet disatu positif dengan mengandaikan adanya peningkatan kualitas, produktifitas, sehingga visi-misi dengan semangat nawacita yang teetuang dalam RP JMN dapat terlaksana secara maksimal tanpa ada gangguan politik yang berarti. Namun pada sisi yang lain keseringan melakukan bongkar pasang kabinet dapat mengganggu continuity dari program-program dilevel kementerian, sekaligus mengganggu para menteri secara psikologis dalam bekerja. Apalagi harus melayani tuntutan partai koalisi pendukung pemerintah. Hal ini merupakan sebuah dilema kabinet kerja.
Presiden sebetulnya memiliki kekuasaan yang otonom untuk mengkonsolidasikan pemerintahan tanpa melibatkan partai-partai di legislatif. Akan tetapi sikap yang demikian kemungkinan akan dihadang oleh legislatif dan memusuhinya, akibatnya kemudian adalah akan terjadi ketegangan hubungan bahkan terjadi konflik yang berujung pada kebuntuan (deadlock). Dampaknya adalah pemerintahan sulit memiliki kinerja yang baik.
Hal tersebut merupakan masalah bawaan dalam sistem presidensial ketika ia digabungkan dengan sistem multipartai (Mainwaring, 1993; Shugart & Carey, 1992; Stepan & Skach, 1994). Dalam sistem presidensial multipartai, presiden yang terpilih cenderung akan tidak memiliki dukungan mayoritas di legislatif. Banyaknya partai yang ikut pemilu (termasuk partai presiden) membuat sangat sulit bagi satu partai untuk memenangkan pemilu secara mayoritas. Ini berujung pada lemahnya dukungan presiden di legislatif, sekalipun partainya adalah partai pemenang pemilu. Maka jalan satu-satun jalan untuk mendapat dukungan mayoritas di legislatif adalah membentuk koalisi.
Namun pembentukkan koalisi bukan atas dasar kalkulais idiologis, melainkan semata-mata didasari kalkulasi ekonomi-politik, itulah tercermin dalam pelebaran koalisi dengan masuknya PAN dan Goklar dikabinet melalui reshuffle II. Tukar tambah kekuasaan secara terang-terangan diumumkan Partai Golkar melalui rapimnas 28 Juli 2016 mendukung sepenuh kepemimpinan Jokowi bahkan akan mengusung Jokowi sebagai Capres pada Pemilu 2019 mendatang, dukungan tersebut ditukar dengan 1 Menteri dan tidak menutup kemungkinan Golkar mengincar Menteri ESDM setelah ditinggal Arcndra.
Kelihatannya, konsolidasi kabinet masih terus berlangsung. Jika hal tersebut diasumsikan dapat selesai pada akhir 2016, berarti selama tiga tahun waktu Presiden mengkonsolidasikan kabinetnya dengan catatan tidak akan lagi bongkar pasang kabinet. Sisa kepemimpinan dua tahun yaitu 2017-2019 diharapkan Presiden dan kabinetnya dapat bekerja secara maksimal. Namun, Presiden akan diperhadapkan dengan agenda politik yaitu mempersiapkan diri untuk menghadapi pemilu 2019, persiapan tersebut dapat dipastikan satu tahun sebelum pemilu dilaksanakan. Artinya Presiden selama 3 membangun formulasi-konsolidasi kabinet, 1 tahun fokus kerja, dan 1 tahun mempersiapkan diri menghadapi pemilu 2019. Wallahu A’lam.
Post a Comment