Editor: Yaser Baginda
Manado, Suarapembaharu.com - Catatan ini ku tulis dalam perjalanan laut dari Kota Manado menuju Kabupaten Kepulauan Sangihe--kini mulai diperkenalkan dengan nama Kabupaten Nusa Utara, sebuah daerah di Sulawesi Utara yang berbatasan langsung dengan Negerinya Gloria Macapagal Aroyyo, Philipina--untuk sebuah urusan.
Di tengah ingar bingar deru mesin kapal yang melaju kencang, aku memaksakan diri menekan tuts demi tuts smartphoneku untuk ikut menulis sebentuk tukar tambah pandangan lewat muktamar yang akan dihelat besok nanti. Meski kepastian keberangkatanku dan beberapa kawan IMM se-Sulut--menuju Malang--pun masih sekabur masa depan intelektualisme di organisasi ini.
Dengan mengambil tema, "Meneguhkan Pancasila Sebagai Sukma Bangsa", Muktamar IMM ke-XVIII kini akan dilangsungkan di Kampus yang dulu pernah menjadi ladang intelektualisme dan melahirkan tokoh sekaliber Pradana Boy dan kawan-kawan. Mudah-mudahan kampus Universitas Muhammadiyah Malang akan menjadi saksi sejarah bagi organisasi ini untuk insaf dari rutinitas semu dan kembali ke jalan intelektualisme.
Namun demikian, ada hal yang sejak awal membuatku gundah gulana dengan perhelatan akbar di organisasi otonom Muhammadiyah yang satu ini, yakni tendensi formalistis yang pada akhirnya menjadikan Muktamar tak lebih dari rutinitas dua tahunan. Dan seperti judul tulisan ini, Muktamar pun tanpa efek dentuman besar bagi perubahan IMM, bangsa dan Negara ini.
Tendensi ini nampak terang terlihat dari tidak adanya penajaman intelektual yang serius dari tema yang diangkat. Sebelumnya aku berharap sesi-sesi materi akan diisi oleh refleksi intelektual yang mendalam dari Buya Ahmad Syafii Maarif, Ahmad Najib Burhani, Yudi Latief, atau sederet intelektual dalam Negeri yang pandangan-pandangannya tentang Republik ini, Pancasila dan Kemuhammadiyahan kini jamak menghiasi media dan karya-karya akademis. Yang nantinya juga boleh memantik debat-debat intelektual yang kritis, radikal dan konstruktif di kalangan kader-kader IMM.
Tapi sayangnya, ekspektasi ini nyaris akan luput oleh sebab separuh dari sesi materi tersebut justru diisi oleh suara dari corong kekuasaan (baca: penguasa). Mungkin akan ada yang menampik, "Lalu, apa yang 'salah' dari kekuasaan?" Sederhana, refleksi radikal yang otentik akan hadir jika, dan hanya jika itu dilakukan oleh mereka (intelektual) yang berjarak dengan kekuasaan, dan tak punya kepentingan untuk melanggengkannya. Pada pikiran merekalah bersemayam kemendalaman dan refleksi kritis yang otentik. Yang hilang dari IMM sebagai organisasi yang mengklaim diri intelektual ini--lewat trilogi dan slogan-slogannya--adalah radikalitasnya. Bahkan tugas, "Speak the truth to the power" di jalan intelektualisme tak massive dilakukan, tertutupi oleh "pose mesra" beberapa pimpinannya dengan penguasa beberapa waktu belakangan.
Hal lain yang miris terjadi, kontestasi menuju DPP IMM pun kini diramaikan dengan adu memperpanjang daftar CV (Curiculum Vitae) Pengkaderan dan slogan-slogan retoris tanpa proposal intelektual yang mendalam. CV perkaderan sebetulnya hanya menunjukkan kalau seseorang pernah dikader di IMM, namun bukan jaminan bagi berfungsinya intelektualitas yang sarat akan radikalitas berpikir, kritisisme dan perlawanan terhadap tirani kekuasaan.
Ketika catatan ini dipublish, mungkin saja kader-kader IMM se-Indonesia tengah khusyuk mendengar studium general dari Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo. Satu hal yang kini lazim terjadi disetiap perhelatan besar organisasi-organisasi kemahasiswaan dewasa ini. Harapanku pagi ini, semoga agenda demi agenda di muktamar kali ini tak akan diikuti dengan--terus--menumpulnya radikalitas intelektual IMM dalam memproduksi gagasan-gagasan mendasar bagi perbaikan bangsa ini.
Lantas bagaimana sikap DPD IMM Sulawesi Utara?
Proposal kami di muktamar kali ini adalah tetap konsisten menyuarakan IMM untuk kembali ke jalan intelektualisme secara radikal. Berdiri vis a vis dengan dogmatisme, banalitas dan bebalnya kerumunan kolektif yang kini banyak mendestruksi akal sehat di Republik ini. Dan akan mendorong person-person yang siap berkomitmen di jalan keilmuan-intelektualisme sebagai pemegang tampuk kepemimpinan IMM mendatang. Sudahi tendensi sempit kedaerahan antara Timur atau Jawa, mari membicarakan masa depan IMM lewat kontestasi gagasan yang konstruktif.
Post a Comment