![]() |
Fajlurrahman Jurdi |
Orang-orang memaki hukum sebagai biang kerok dari semua masalah. Keadilan berhenti berdenyut, kesetaraan tak pernah bisa berdiri tegak, kebajikan ditukar dengan uang, menjadi gosip lama yang berusia panjang di tangan lembaga peradilan. Orang selalu memandang sinis tiap bicara hukum. Mereka memaki polisi, mencerca jaksa, mengutuk hakim dan "meludahi" advokat.
Hukum selalu menjadi hamba mereka yang berkuasa dan memiliki uang. Saya menulis artikel panjang untuk sebuah jurnal yang tak pernah dipublikasikan dengan judul yang agak sarkas: "Pengadilan Dibawah Tekanan Oligarki". Artikel ini masih saya simpan karena beberapa data yang sulit diperoleh sebagai pendukung teori yang digunakan.
"Hukum selalu tak pernah bisa berbicara lugas dihadapan kekuatan politik". Demikian pernyataan sebagian besar ahli meskipun tak sedikit yang menentang nya. Argumen ini mendapatkan legitimasi sosiologis di masyarakat, karena mereka merasakan bagaimana rumitnya "klasifikasi kelas" dalam penegakkan hukum. Yang kaya dan berkuasa mendapatkan priveledge sementara yang miskin dan tak berdaya selalu menjadi korban.
Meskipun demikian, kadang selalu ada harapan disaat pesimisme membuncah dan tidak menemukan sandaran nya. Kita tau belakangan ini Parlemen ditimpa tiga isu busuk yang baunya menyengat. Soal seleksi anggota KPU yang tak kunjung kelar karena diboikot hasil dari Panitia Seleksi, soal Korupsi yang bagai palu godam meremukkan kepala parlemen, dan soal masa jabatan pimpinan DPD yang dua setengah tahun.
Kemarin kita bisa membaca berbagai media seputar keributan Pansel KPU dengan Anggota Komisi II DPR. Mereka menganggapnya dinamika, tapi rakyat melihatnya sebagai retorika palsu. Mereka menganggapnya adu argumentasi, tapi sebagian rakyat melihatnya sebagai representasi kepentingan. Silakan berdebat, tak penting juga mungkin buat rakyat, meskipun mereka merasa diri sebagai pahlawan demokrasi. Entah dari lorong gelap mana pula, mereka kadang suka eror, menganggap dirinya lebih tau dan lebih penting dari pada betapa pentingnya kebutuhan mendesak orang-orang yang "kurang penting" seperti rakyat.
Sekali lagi, meskipun pesimisme selalu dijejalkan di kepala kita akibat perilaku dan tindakan yang tak tau adab para politisi, kadang peristiwa penting datang merayu kita untuk merajut kembali pesimisme itu sehingga menjadi optimisme.
Katakanlah KPK menyebut nama-nama oligarki tua dan berbahaya sebagai pelaku korupsi E-KTP. Mereka kadang dianggap kebal hukum dan menyulap negara hukum menjadi negara kekuasaan. Di tangan mereka, bukan rule of law yang didendangkan, tapi rule of politics yang berkuasa. Bukan supremasi hukum yang dijaga dan dipelihara, tapi supremasi politik yang bekerja mengendalikan hukum. Dengan KPK berani menyebut dan mengarak mereka ke meja hukum, maka benih optimisme tumbuh kembali setelah tergerus oleh banjir kuasa yang menyapu hukum.
Kasus lain adalah soal keinginan politik untuk mengkorting masa jabatan pimpinan DPD. Partai berkuasa melebihi negara, sehingga konstitusi juga kadang mereka gergaji sehingga potongan hasil gergaji nya dibagi untuk kepentingan mereka. Meskipun demikian, lembaga penegak hukum, masih mampu menahan laju kekuasaan yang menekan hukum dari segala penjuru. Kemarin Mahkamah Agung yang membatalkan peraturan DPD RI mengenai korting masa jabatan pimpinan DPD telah menunjukan masih adanya harapan negara hukum bisa dijalankan.
Memang hubungan hukum dan politik tak selalu saling menguntungkan. Hukum menjadi lapisan kedua disebuah negara demokrasi kriminal seperti indonesia, sedangkan politik menempati urutan pertama dan selalu berkuasa.
Mungkin rasa berkuasa nya politik dan kekuasaan atas hukum ini harus segera dihentikan, agar demokrasi kita bisa bekerja lebih baik dan kesejahteraan rakyat dapat kita raih.
Post a Comment