Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) (foto, Istimewa) |
Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) al-Sham kini menjadi topik pembahasan di Indonesia. Setelah terus diberitakan
media, bendera hitam ISIS kemudian menjadi populer di beberapa daerah. Ide pemimpinnya,
Abu Bakr al-Baghdadi yang ingin membentuk negara Islam dengan pusat di Racca,
Suriah dan Mosul, Irak turut diperbincangkan. ISIS yang pada awalnya bernama ISI
(Islamic State of Iraq) kini kembali berganti nama menjadi IS (Islamis State)
atau dikenal juga sebagai Daulah Islamiyah. Apa sebenarnya ISIS? Siapa
sebenarnya Abu Bakr al-Baghdadi? Serta sejauh mana pengaruh dan bahayanya bagi
dunia Islam, khususnya di Timur Tengah?
Adalah
Edward Snowden, mantan agen CIA dan pegawai badan intelijen Amerika Serikat, National Security Agency (NSA) yang mengungkapkan
bahwa Islamic State of Irak and Syria
(ISIS) bukan murni organisasi militan Islam. Pembocor rahasia intelijen AS yang
kini bermukim di Rusia ini menyebutkan, ISIS merupakan bentukan badan intelijen
Amerika (CIA), Israel (Mossad) dan Inggris (M16).
Snowden
menuding, ketiga badan intelijen tersebut, sengaja menciptakan sebuah
organisasi teroris yang mampu menarik semua ekstremis dunia untuk bergabung di
suatu tempat, dengan menggunakan strategi yang disebut "the hornet's nest" atau sarang
lebah. Dokumen NSA yang dibocorkan Snowden, memperlihatkan implementasi
strategi sarang lebah untuk melindungi entitas Zionis dengan merawat
instabilitas di negara-negara Arab. Dokumen tersebut menyimpulkan,
"Satu-satunya solusi untuk melindungi negara Yahudi adalah dengan
menciptakan musuh di dekat perbatasannya".
Seperti
dikutip Moroccantimes, pemimpin ISIS, Abu Bakr al-Baghdadi telah dilatih secara
khusus selama setahun oleh badan intelijen Israel, Mossad. Selain latihan
militer dan pengorganisasian, dia juga dilatih masalah teologi dan seni
berbicara. Bahkan, Global Research, sebuah lembaga peneliti independen dari
Kanada mengutip pendapat pakar studi oriental asal Rusia, Vyacheslav Matuzov, yang
meyakini pemimpin Negara Islam Irak dan Levant (ISIL) atau ISIS tersebut
memiliki hubungan dekat dan kerjasama erat dengan Badan Intelijen Pusat AS
(CIA).
Matuzov
menyatakan, “All facts show that
Al-Baghdadi is in contact with the CIA and during all the years that he was in
prison (2004-2009) he has been collaborating with the CIA,” katanya, di
Suara Radio Rusia, pada Juli 2014. Matuzov menyindir, AS tidak perlu
menggunakan drone untuk mengamati
ISIL, karena sudah memiliki memiliki akses ke para pemimpin ISIS. Matuzov juga
meyakini, sejak komandan teroris merupakan sekutu AS, maka Washington tidak
akan memerangi mereka.
Dalam
penelitiannya tersebut, Global Research merilis bahwa ISIS adalah kelompok
ekstremis Takfiri yang awalnya adalah pemberontak yang melawan invasi AS ke
Irak tahun 2006. Kemudian, sejak Tahun 2012, ISIS berkembang menjadi lebih
besar di Suriah. Menurut catatan Global Reserarch, pemimpin ISIL Abu Bakr
Al-Baghdadi, pernah menjadi tahanan di penjara milik AS, Bucca pada tahun 2004,
kemudian dilepaskan dan mengumumkan dirinya sebagai khalifah dari Negara Islam.
Camp Bucca adalah fasilitas penahanan
militer AS di dekat Umm Qasr, Irak. Wikileaks menyebut, Al-Baghdadi ditahan
selama kurang dari setahun.
Pada
bulan Juni 2014, mingguan Jerman Der
Spiegel membenarkan laporan militer AS telah melatih sekitar 200 pemberontak
Suriah di Yordania selama tiga bulan, terutama pada penggunaan senjata
anti-tank. Harian Inggris, Guardian juga melaporkan bahwa AS pada bulan Maret
membantu pelatihan militer kepada pemberontak Suriah di Yordania bersama dengan
instruktur Inggris dan Perancis. Atas informasi tersebut, Reuters menulis juru
bicara Departemen Pertahanan AS, kementerian luar negeri Prancis dan
kementerian luar negeri dan pertahanan Inggris menolak berkomentar. Nampaknya,
akibat kontroversi informasi tersebut, Abu Bakr al-Baghdadi Abu Bakr
al-Baghdadi melengkapi namanya menjadi Abu Bakr Al-Baghdadi Al-Hussein
Al-Qurashi serta mengklaim sebagai keturunan Nabi Muhammad.
Setelah
AS melakukan Invasi ke Irak pada tahun 2003, al-Baghdadi membantu mendirikan
kelompok militan, Jamaat Jaysh Ahl al-Sunnah wal-Jamaah (JJASJ), dimana ia
menjabat sebagai kepala Komite Penilaian Kelompok. Setelah dilepas dari tahanan
AS, Al -Baghdadi dan kelompoknya bergabung dengan Mujahidin Shura Council (MSC)
pada tahun 2006, menjabat anggota Komite Hukum. MSC kemudian berubah nama
menjadi Negara Islam Irak (ISI) pada tahun 2006, dan Al-Baghdadi dipercaya menjadi
Dewan Konsultatif Senior. Negara Islam Irak (ISI) yang juga dikenal sebagai
Al-Qaeda Irak atau AQI-Irak, adalah bagian dari organisasi militan Islam
internasional Al-Qaeda. Al-Baghdadi diumumkan sebagai pemimpin ISI pada tanggal
16 Mei 2010, setelah tewasnya Abu Omar al-Baghdadi, pemimpin ISI sebelumnya,
dalam serangan bulan April 2010. Al-Baghdadi kemudian mengumumkan pembentukan
Negara Islam Irak dan Syria (ISIS) pada 8 April 2013 dan sebagai pemimpin ISIS,
al-Baghdadi memimpin semua aktivitas ISIS di Irak dan Suriah.
ISIS
kemudian terlibat konflik dengan Jabhat al-Nusra atau Al-Nusra Front yang
diketahui sebagai perwakilan Al-Qaeda di Suriah. Ketika mengumumkan pembentukan
ISIS, al-Baghdadi menyatakan bahwa faksi jihad perang saudara Suriah, Jabhat
al-Nusra adalah bagian dari ISIS. Pemimpin Jabhat al-Nusra, Abu Mohammad
al-Jawlani, mengajukan keberatan ke Emir Al-Qaeda, Ayman al-Zawahiri, yang
kemudian mengeluarkan pernyataan agar ISIS harus membatasi operasinya hanya di
Irak dan keluar dari Suriah. Namun ISIS menentang seruan Al-Qaeda tersebut dan
mengumumkan pembentukan Khilifah pada 29 Juni 2014, dimana Al-Baghdadi menyebut
dirinya khalifah dengan sebutan Khalifah Ibrahim. Sejak itu ISIS berganti nama
menjadi Islamic State (IS).
Deklarasi
Islamic State banyak ditentang oleh
pemerintahan negara-negara dan kerajaan di Timur Tengah serta kelompok-kelompok
jihad lainnya, serta dikritik para teolog Sunni dan sejarawan. Yusuf
al-Qaradawi, seorang pengajar terkemuka di Qatar mengatakan, "Deklarasi
yang dikeluarkan oleh Islamic State
tidak sah menurut hukum dan memiliki konsekuensi yang berbahaya bagi Sunni di
Irak dan pemberontakan di Suriah." Dia menambahkan, “gelar Khalifah hanya
dapat diberikan oleh seluruh bangsa dan kaum muslim di dunia, bukan oleh satu
kelompok.”
Nah,
pertanyaannya adalah, apakah memang ISIS dan Abu Bakr al-Baghdadi adalah
bentukan tiga badan intelijen terkuat di dunia guna melindungi Negara Israel? Namun
beberapa fakta yang dapat kita lihat dari keberadaan ISIS adalah mereka telah menimbulkan
konflik ke berbagai penjuru Arab, mempertontonkan perilaku ekstrim yang tidak
sejalan dengan ajaran Islam dan juga dilakukan kepada sesama Muslim, serta
diunggah di Youtube, ISIS juga menabrak semua pihak yang bertikai, kecuali
dalam isu zionisme dimana ISIS tidak terlibat dalam memperjuangkan kemerdekaan
Palestina.
Kini,
Islamic State bentukan Al-Baghdadi
semakin kuat, mempunyai ribuan pasukan bersenjata, memiliki peralatan perang
hasil rampasan dari pasukan Irak, serta sokongan dana yang melimpah. Idenya
membentuk negara Islam yang menerapkan syariat Islam dengan keras, di satu
pihak tidak disukai, tetapi di lain pihak membuat dia dipuja. “Bahkan di
Indonesia, terdapat kelompok yang melakukan ba'iat kepada al-Baghdadi tanpa mempedulikan
keberadaan dan perilakunya, yang penting menurut mereka, ada tokoh yang
memperjuangkan negara Islam dan telah menunjukkan langkah militernya untuk
menguasai sebuah Negara,” ujar Amirsyah Tambunan, Wakil Sekjen Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Amirsyah menilai, ISIS bukanlah aliran agama yang berisi
ajaran teologi dan ritual keagamaan, melainkan gerakan politik yang bisa
mengancam kedaulatan dan konstitusi. “ISIS termasuk dalam kategori gerakan
transnasional politik agama, sehingga sangat berbahaya apabila terbentuk dan
kemudian membesar. Apalagi jika sampai berkembang di Indonesia karena dapat mengubah
dasar negara Pancasila dan UUD 1945,” ungkap Amirsyah. (mail, dari berbagai
sumber)
(Tulisan ini diambil dari mimbar
Indonesia)
Post a Comment