Rhamdani menegaskan, untuk melakukan revisi UU terorisme, Pemerintah dan Parlemen adalah pihak yang paling bertanggungjawab atas hal tersebut. Maka harus didasarkan pada kepentingan nasional, bukan pihak asing.
“Seiring dengan rencana revisi Undang-undang Terorisme, jangan sampai ada intervensi asing. Jika itu terjadi, maka alangkah biadabnya kita sebagai pemegang mandat kedaulatan yang dipercaya rakyat, dan pemilik Negara yang mestinya terhormat diantara bangsa-bangsa lain, kemudian merendahkan diri sebagai budak Internasional,” ujar Rhamdani.
Terkait hal ini, Rhamdani memiliki alasan sendiri. Baginya, soal terorisme ini sangat kuat pengaruh kepentingan global Internasionalnya. Sehingga sangat terbuka peluang kecurigaan terhadap kepentingan asing yang mungkin merasuk ke dalam negeri, melalui revisi Undang-undang tersebut.
Senator dapil Sulut ini mengutip pujangga Cekoslovakia yang mengatakan, untuk menghancurkan sebuah Negara, salah satunya dengan cara menghilangkan memori kolektif sejarah. Yang kedua adalah, menghancurkan kearifan lokal yang merupakan akar budaya.
“Nah, saya punya analisis, bahwa Indonesia sekarang ini sedang dihancurkan. Kita sekarang ini sedang berperang tidak dengan kekuatan fisik secara nyata. Tidak dengan model invasi sebuah Negara, dan tidak berperang dengan kekuatan militer. Tapi, kita sedang berperang secara kasat mata, yaitu upaya penghancuran ideologi. Ini sebenarnya yang kita khawatirkan,” tandasnya.
Wakil Ketua Umum GP Ansor ini berharap, hal ini semoga tidak terjadi seperti apa yang diduga.
“Tapi kita tentu berharap, jangan sampai terjadi kekhawatiran seperti itu. Kita tunggu saja nanti Pemerintah dan Parlemen, apakah memang benar-benar melakukan revisi Undang-undang terorisme ini untuk kepentingan Nasional atau tidak. Kita menunggu kesadaran dari masing-masing pihak yang berkompeten dalam menentukan revisi UU itu,” ungkapnya.
Sebagaimana diketahui, Rapat konsinyering antara Panitia Kerja Prolegnas 2016 Badan Legislasi DPR, DPD, dan pemerintah telah dilakukan Januari lalu. Dalam rapat itu disepakati revisi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Peristiwa serangan bom kelompok teroris pada Kamis 14 Januari kemarin di Sarinah, Jakarta, tidak bisa dipungkiri menjadi faktor utama UU Terorisme direvisi. Karena “usia” UU tersebut sudah tidak sesuai, sehingga dinilai perlu perbaikan mengikuti perkembangan pola gerakan terorisme. (BP)
Post a Comment