“Sebagai Wakil Presiden, sampai akhir hayatnya Hatta tidak bisa membeli sepatu Bally. Bahkan ia sering kuatir jika tidak bisa membayar rekening listrik dan air di rumahnya.”
SUARA PEMBAHARU - "Aku dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 12 Agustus 1902." Begitulah Bung Hatta mengawali otobiografinya."Pada masa aku kanak-kanak, penduduk Bukittinggi kira-kira hanya 2.500 orang. Diantaranya, kurang-lebih 300 orang Belanda dan paling sedikit 1/3 dari itu termasuk keluarga militer…. Jumlah orang Tionghoa dan kaum peranakan ada kira-kira 600 atau 650 orang…. Kemudian ada pula beberapa keluarga Keling yang diam di Bukittinggi," Demikian Bung Hatta melukiskan populasi kota yang pernah berjuluk “Fort de Kock” itu.
Mohammad Harta |
Hari ini kita akan mengenal sosok sang Proklamator Republik Indonesia yang tercatat dengan kesederhanaannya dan kejujurannya, Bung Hatta, begitu orang Mengingatnya.
Indonesia selalu membutuhkan sosok seperti Bung Hatta, karena pemikiran, karakter dan kenegarawanannya yang baik. Bung Hatta juga dikenal sebagai pemimpin yang jujur, sederhana dan cinta tanah air.
Kisah kesederhanaan yang dikenang masyakarat diantaranya tentang sepatu Bally. Di tahun 1950-an, Bally terkenal sebagai merek sepatu yang bermutu tinggi dan tidak murah. Wakil Presiden pertama RI ini begitu berminat untuk memilikinya. Hatta kemudian menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya, lalu berusaha menabung untuk bisa membeli sepatu idamannya tersebut.
Namun sayangnya, uang tabungan Hatta tak pernah cukup untuk bisa membelinya hingga akhir hayatnya, karena selalu terpakai untuk keperluan rumah tangga atau membantu kerabat dan handai taulan yang datang meminta pertolongan.
Guntingan iklan sepatu Bally tersebut pun masih tersimpan hingga Bung Hatta wafat, dan telah menjadi saksi kesederhanaannya. Padahal jika dirinya memanfaatkan posisinya sebagai Wakil Presiden RI, tidaklah sulit untuk bisa memperoleh sepatu Bally.
Bung Hatta juga pernah mengucapkan sumpah, bahwa dirinya tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Baginya, Indonesia di atas segalanya, melampui kesenangannya sendiri. Janjinya pun ditepati. Dan Mohammad Hatta baru bisa menikah di Usianya ke-43, yakni pada 18 November 1945 atau tiga bulan setelah beliau dan Soekarno mengumandangkan kemerdekaan Indonesia. Dengan mengambil tempat di sebuah Vila di Megamendung Bogor, Hatta pun menikahi Rachmi Rahim atau sering di panggil Yuke. Ada yang unik dari perkawinannya, yakni saat Bung Hatta memberi mas kawin berupa buku karangannya yang berjudul Alam pikiran Yunani kepada Yuke. Hal itu pun sempat diprotes Keluarga Hatta. "Masa iya menikah memberikan mas kawin berupa buku? Bukankah seharusnya emas atau harta yang berharga,"?.
Tapi itulah Hatta. Baginya buku dan ilmu pengetahuan adalah hal yang paling berharga. Bahkan beredar guyonan bahwa Yuke adalah istri ketiga Bung Hatta. Istri pertamanya adalah buku, istri keduanya buku, dan baru istri ketiganya Yuke.
Salah satu kisahnya yang begitu menyesakan adalah, membayangkan sosok yang berkontribusi besar bagi kemerdekaan negeri ini, yang terkadang mengeluh kepada anak istrinya, karena takut tak mampu membayar tagihan rekening listrik dan PAM.
Baca Juga :
11 Agustus : Hari Terbentuknya Singo Edan atau Arema Malang
Hari Film Indonesia, Ayo Bangkit Film-film Indonesia
Tan Malaka, Pahlawan Nasional Yang Dianggap Tak Ada
Satu hal juga bisa di ingat dari Bung Hatta yakni, bagaimana dirinya tetap mampu menjaga hubungan baik dan bersilaturahmi dengan orang-orang yang berseberangan dengannya secara ideologi atau pun pandangan politik.
Yang paling mudah diingat adalah hubungannya dengan Bung Karno. Banyak saksi sejarah yang menuturkan bahwa Bung Hatta sering mengkritisi kebijakan politik Bung Karno. Pengunduran dirinya tahun 1956 sendiri karena banyaknya perbedaan visi antara mereka. Bahkan, setelah mundur pun Hatta tetap rajin mengkritisi kebijakan-kebijakan Soekarno, baik di media massa maupun melalui surat-surat pribadi.
Tapi saat Hatta diserang stroke tahun 1960, Bung Karno secara khusus mengunjungi beliau dan membujuknya agar mau berobat ke Eropa dengan biaya negara. Bung Karno menitip pesan kepada sekretaris pribadi Bung Hatta agar menjaganya, dan Bung Hatta juga berpesan kepada orang dekat Soekarno untuk menjaga sahabatnya itu.
Hatta pun demikian, saat Soekarno sakit keras di tahun 1970 beliau datang menjenguk, saling berpegangan tangan, dan sama-sama menangis. Hatta juga yang menjadi wali Guntur Soekarnoputra saat menikah di Bandung sebab Soekarno tak bisa hadir karena menjadi tahanan kota saat itu.
Hatta sendiri juga berusaha untuk tidak menyerang Soekarno secara pribadi di dalam tulisan-tulisannya atau pidato-pidatonya. Ia selalu mengingatkan untuk tidak usah mempertanyakan kecintaan Soekarno kepada tanah air, meskipun Soekarno beberapa kali mengeluarkan kebijakan yang tidak sesuai dengan pemikiran Hatta. Saat di luar negeri, Hatta juga mengurangi kritiknya kepada Sokarno karena tetap berusaha menjaga nama Indonesia dan Soekarno di dunia internasional.
Hatta juga pernah ditanyai pendapatnya tentang Soekarno saat di Amerika, dan dia menjawab, “Dalam banyak hal saya tidak setuju dengan Bung Karno. Tetapi, ia Presiden Republik Indonesia, negeri yang kemerdekaannya saya perjuangkan selama bertahun-tahun. Benar atau salah, ia presiden saya.”
Kisah lainnya, Hatta juga pernah menyuruh asistennya untuk mengembalikan dana taktis wakil presiden sebesar Rp 25 ribu. walau bila tidak dikembalikan pun tidak apa-apa karena dana taktis tersebut tak perlu dipertanggungjawabkan. Tapi itulah Bung Hatta, sosok jujur yang punya kehormatan.
Dalam buku "Mengenang Bung Hatta" yang ditulis sekretaris Bung Hatta, Iding Wangsa Widjaja, juga menceritakan sosok luar biasa seorang Hatta. di Tahun 1952, saat Bung Hatta hendak melakukan ibadah haji bersama istri dan dua saudarinya. Kala itu Bung Karno menawarkan mereka untuk menggunakan pesawat terbang yang biayanya ditanggung negara. Tapi Bung Hatta menolaknya, karena ia ingin pergi haji sebagai rakyat biasa, bukan sebagai wakil presiden. Dia menunaikan rukun Islam kelima dari hasil honorarium penerbitan beberapa bukunya.
Hingga akhirnya saat Hatta meninggal 14 Maret 1980, Bung Hatta telah meninggalkan teladan besar, sikap mendahulukan orang lain, bersahaja, dan membatasi konsumsi pada kemampuan yang ada. Kalau belum mampu, harus disiplin dengan tidak berutang atau bergantung pada orang lain.
Ketidaklaziman yang sulit lagi ditemui saat ini, telah menjadi kisah dan menyadarkan kita semua, bahwa Indonesia pernah memiliki seorang pemimpin dan negarawan yang teramat bersahaja.
Post a Comment