![]() |
Awien SJT |
"Di sini jelas sekali terlihat Nusron kurang tanggap, jika enggan menyatakan membelot. Karena, menyangkut al-Maidah 51, Nusron hendaknya menukil sejarah Khalifah Umar bin Khattab yang membacakan ayat al-Maidah 51 ketika Abu Musa Al-'Asy'ari mengangkat sekrtaris yang bukan muslim sebagaimana dikisahan oleh Ibnu katsir," jelas penulis Matahari kecil dari Tanah Minahasa.
Lanjutnya, lagi-lagi Nusron terperangkap dalam dialektika politik asumtifnya, karena dalam konteks kisah Umar jelas menyatakan bahwa beliau (Umar) bermaksud adalah 'ba'dhuhum awliya' ba'dhin'.
Adapun juga dalam kisah khalifah al-Mu'tadhid bisa juga diperhatikan dalam konteks 'muallafatu quluubuhum'. Sama halnya ketika Nabi menunda fathu Makkah (pembebasan Kota Makkah), dalam pandangan Umar bin Khattab, Nabi terkesan sangat toleran terhadap Khalid bin Walid yang bukan muslim.
"Namun Umar kemudian menyadari bahwa Nabi benar. Khalid bin Walid tertarik dengan sikap Nabi dan kemudian bersyahadat. Begitupula dengan SBY yang ahli strategi militer terinspirasi dengan peristiwa ini kemudian mendefinisikan sikap Nabi dengan timing politik," tambahnya.
Kemudian Awien menegaskan dalam peryataan Ahok, siapa yang menafsirkan al-Maidah 51 dengan landasan politik ? Lagi-lagi Nusron terjebak. Tafsiran yang selama ini beredar adalah tafsiran linguistik terhadap pidato Ahok. Dalam hal ini, menyangkut kalimat: "...Dibohongin pake ayat al-Maidah 51 macem-macem."
"Tafsirannya adalah siapa yang dimaksud pembohong menggunakan ayat al-Maidah 51, di mana letak kebohongan al-Maidah 51, dan apakah al-Maidah 51 yang bagi umat Muslim adalah kebenaran mutlak, bisa dijadikan alat untuk berbohong," bantahnya kembali.
Terkait tabayyun juga, Awien menjelaskan mayoritas negeri ini adalah muslim. Media, lingkungan, asas negara, nomenklatur negara, lebih dari cukup untuk menjadi 'bayaan' bagi siapapun. Teman Ahok yang juga terdiri dari orang-orang Muslim lebih dari cukup untuk tabayyuun.
"Kita harus juga mengetahui bahwa Indonesia adalah negara paling toleran. Amerika yang mengandalkan liberalisme bisa dilihat tidak setoleran Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari sikap mereka terhadap Timur Tengah," ungkapnya.
Terkait kalimat Wallaahu a'lam bish-showaab yang diucapkan Nusron sebagai santri, pasti tahu kalau kalimat itu adalah kalimat sakti di puncak ijtihad. Dia tidak mungkin digunakan untuk logika subyektivisme dan klaim-klaim. Seperti Kata Almarhum Gusdur, gitu aja koq repot.
Selain itu Nusron juga mengatakan, Islam ramai dengan dua hal, salah paham dan paham salah. Nusron sepertinya mengkhususkan dua hal ini pada Islam. Padahal itu sunatullah dalam kehidupan dalam agama apapun.
"Katanya lagi, al-Maidah 51 multitafsir. Ya iyalah, cara dan sudut pandang bisa saja beda. Tapi Nusron tidak mengakui kalau intensitas dan kandungan maknanya pasti sama," ucap Awien.
Nusron Juga berkata bahwa al-Qur'an hanya Allah yang tahu maknanya (al-Maidah 51). Ini dia juga sudah mengambil sikap dengan al-Maidah 51. Baginya al-Maidah 51 bukan tentang politik.
"Nusron berkata saya bicara kebenaran. Dia sendiri tahu bahwa kebenaran itu hanya milik Allah. Aduuuh, Nusron kamu koq gak wahid ya," tutupnya. (MO3)
Post a Comment