Penulis : Arham Licin
Koordinator JPPR kota Bitung
Pemilihan umum 2019 semakin dekat. Tak terasa tinggal tersisa kurang lebih 15 bulan lagi menuju hari pencoblosan. Namun, sebelum kita mencoba masuk kedalam proses dan tahapan pemilu 2019 yang sudah berjalan kini, kita akan mereview dahulu dan melihat dasar hukum yang digunakan didalam pemilu yang menggabungkan pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD dan Presiden / Wakil Presiden sesuai amanat Mahkamah Konsitusi (MK) nomor 14/PUU XI/2013.
Berdasarkan Undang Undang nomor 7 tahun 2017, pemilu 2019 berbeda dengan pemilu pemilu sebelumnya dimana pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD provinsi dan DPRD kabupaten kota tidak bersamaan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Oleh karena itu, menurut salah satu Komisioner KPU RI, Ilham Saputra, UU Pemilu 7/2017 ada 5 isu krusial yang menjadi pembahasan didalamnya. Yang pertama adalah Presidential Treshold, kedua Parlementary Treshold, ketiga sistem pemilu terbuka, keempat daerah pemilihan atau dapil Magnitude dan metode konversi surat suara.
Undang undang Pemilu nomor 7 tahun 2017, juga merupakan penyederhanaan sistem pemilu, dimana tiga undang undang pemilu sebelumnya. Yakni, UU Nomor 15 tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu, UU Nomor 42 tentang penyelenggaraan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan UU Nomor 8 tahun 2012 tentang pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota dikonversi menjadi satu. Tujuannya ada dua. Yang pertama adalah memperkuat sistem presidensial dan yang kedua adalah efisiensi anggaran serta efektifitas mobilitas pemilih.
Memperkuat sistem presidensial, berarti memberi ruang lebih besar kepada Presiden selaku kepala negara, sekaligus kepala pemerintahan menjalankan berbagai program pemerintahannya selama 5 tahun, tanpa di "kebiri" oleh legisatif. Karena, selama ini, dengan sistem presidensial yang masih banyak kelemahan, Presiden acapkali tidak bisa mengeksekusi sebuah program, hanya karena harus berhadapan dengan ratusan anggota DPR yang tidak setuju dengan program tersebut dengan alasan yang terkadang sangat "politis". Hanya saja, penggabungan ini terasa "aneh", jika pemilihan Presiden tidak melibatkan partai politik baru peserta pemilu 2019 untuk menentukan presiden yang mereka usung. Karena sesuai aturan yang ada, pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden di usung oleh partai politik yang perolehan suaranya 20 persen kursi di DPR atau 25 persen dari jumlah suara sah pada pemiu 2014.
Oleh karena itu, peluang Perindo, PSI, Berkarya, Idaman, dan partai politik baru lainnya yang akan menjadi peserta pemilu 2019 tidak punya harapan untuk bisa mencalonkan "jagoan" mereka pada pemilihan presiden dan wakil presiden 2019 mendatang. Karena mereka belum bisa memnuhi syarat yang diatir oleh undang undang tersebut. Dan jika ini dipertahankan, maka sistem ini akan berlanjut ke pemilu berikutnya dan berikutnya. Solusinya, tentu jika ada undang baru yang tidak lagi membolehkan membentuk atau mendirikan partai politik baru. Sehingga partai politik yang ada saat ini lah yang akan terus bertarung pada pemilu pemilu berikutnya.
Post a Comment