SUARA PEMBAHARU – Ayah Kapolri Badrodin Haiti, Almarhum Kiai Haji Achmad Haiti ternyata salah satu sosok ulama konsisten dalam mengabdikan hidupnya pada kegiatan dakwah Muhammadiyah, dan menjadi perintis Muhammadiyah Jember.
Bapak 10 anak ini (dua orang bersaudara meninggal saat berusia muda), dikenal sebagai seorang ayah yang teguh pada pendirian. Beliau kemudian menggariskan ketetapan, agar seluruh anaknya harus bersekolah di lembaga pendidikan Islam atau pesantren. Maka tidak heran seluruh anaknya, sempat mengenyam pendidikan di Pesantren, itu pun termasuk Komjen Pol Badrodin Haiti yang bersekolah formal sambil nyantri di Pondok Pesantren Baitul Arqam, Balung, Jember. Kapolri Badrodin Haiti bersama saudaranya pun harus menempuh jarak 8 kilometer perjalanan dari rumahnya untuk bisa sampai ke pondok pesantren, mereka menempuh perjalanan dengan mengayuh sepeda onthel pemberian orangtuanya.
“Kalau urusan sekolah anak-anaknya, tidak bisa ditawar-tawar harus masuk sekolah agama, ke pesantren atau madrasah, tapi soal pekerjaan beliau memberi kesempatan dimana saja," tutur H. Lukman Haiti, putra kedua yang kini melanjutkan perjuangan ayahnya, dengan aktif berdakwah dan menggerakkan Pimpinan Cabang Muhammadiyah Paleran Kabupaten Jember.
Perjuangan Hidup KH Achmad Haiti (Ayah Kapolri Badrodin Haiti)
KH. Achmad Haiti yang wafat di usia 97 tahun, selama hidupnya dikenal sebagai tokoh perintis pendirian Persyarikatan Muhammadiyah Jember, khususnya di wilayah Paleran (Kec. Umbulsari) dan sekitarnya.
Hasil rintisan dan perjuangan beliau, kini telah berdiri Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Paleran dengan berbagai amal usahanya. Diantaranya adalah Amal Usaha Muhammadiyah berupa TK ABA, SD, SMP, SMK Muhammadiyah, sejumlah masjid/mushalla, serta beberapa bidang tanah waqaf yang dikelola Muhammadiyah.
Almarhum KH Achmad Haiti yang lahir pada tahun 1917 diasuh ibundanya, karena ayahnya meninggal dunia saat berada di tanah suci Mekkah, saat KH Achmad Haiti masih dalam kandungan. “Jadi, bapak sejak kecil sudah yatim. Beliau sempat menangis haru, saat tiba di Tanah Suci, karena teringat Mbah Kakung (abahnya) yang wafat di Makkah,”cerita Lukman.
Semasa hidupnya, beliau bermukim di pondok pesantren tanpa subsidi serta bantuan dana dari orangtuanya. Achmad Haiti pun tidak berkecil hati, karena dirinya telah terbiasa hidup sederhana, bahkan hari-harinya lebih banyak dilalui dengan berpuasa sunnah. “Untuk menyambung hidup selama di pesantren, beliau rela bekerja apa saja, termasuk menjadi buruh petik buah kelapa," jelas Lukman.
Selepas dari ponpes, Achmad Haiti memilih bermukim di Paleran, Umbulsari. Dan di tempat inilah, beliau mulai mengabdikan ilmunya yang diperoleh. Selain mengajar mengaji di masjid dan mushalla, Kiai Achmad Haiti juga sempat mendirikan madrasah ibtidaiyah.
"Santri Bapak, cukup banyak. Kalau pagi, beliau mengajar di madrasah yang didirikannya, dan sore harinya mengajar ngaji santrinya di masjid. Selebihnya, beliau lebih banyak tinggal dan mengurus di masjid. Sesekali, beliau mengisi pengajian, hingga keluar wilayah kecamatan," ujar Lukman, anak kedua yang sempat merawat ayahnya hingga akhir hayat.
Perjalanan dakwah KH Achmad Haiti ternyata tidak mudah, tantangan dan hambatan mulai dirasakan, saat para tokoh aktivis partai komunis (PKI) di wilayah Paleran dan sekitarnya menghalang-halangi langkah dakwahnya. Bahkan anggota PKI ini pun tak segan-segan melakukan tindakan licik dan tidak pantas. “Bapak terpaksa mengalah dan memindahkan kegiatan dakwahnya ke masjid kampung sebelah, setelah masjid yang biasa dipakai ngaji diberi kotoran manusia oleh anggota PKI di tempat wudhunya," terangnya.
Selanjutnya, Achmad Haiti menempati sebuah masjid di timur sungai, Karang Genteng. Di Masjid Darun Najah ini, kegiatan pengajian dan madrasah yang didirikannya berkembang pesat. Santrinya cukup banyak, bahkan Achmad Haiti menjadi Kiai Masjid dan tokoh masyarakat yang cukup disegani. Hampir seluruh kegiatan keagamaan di masjid dan juga di kampung, selalu dipimpin oleh Sang Kiai. "Beliau dianggap Kiai Keramat yang sangat disegani," lanjut Lukman.
Kemudian KH Achmad Haiti, kembali pindah tempat tinggal di Dusun Krajan Kulon, Karang Genteng. Di tempat baru ini, beliau semakin terang-terangan menyebut dirinya anggota Persyarikatan Muhammadiyah. Dan untuk pertama kalinya, pada tahun 1971, beliau merintis pelaksanaan Sholat Idul Fitri di lapangan desa setempat. "Saat pertama kali diadakan, jamaah sholat Idul Fitri hanya 12 orang, terutama dari keluarga sendiri dan beliau yang menjadi imam sekaligus khotibnya," tambah Lukman.
Dari sinilah cikal bakal Muhammadiyah di Paleran berdiri. Setelah cukup lama menjadi ranting Muhammadiyah Kecamatan Bangsalsari, pada tahun 2000 lalu, Paleran yang hanya sebuah desa, bisa berdiri Cabang Muhammadiyah, hingga menjadi Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) diantara 22 PCM lainnya di kabupaten Jember. Semoga beliau khusnul khotimah. Amin.

Post a Comment