Kutipan tersebut adalah ungkapkan perasaan Amien Rais usai merobohkan pemerintahan Soeharto 1998. Kutipan ini diambil dari tabloid Adil, dari artikelnya yang berjudul, “Ijtihad dan Terobosan”.
Tidak ada yang bisa memisahkan Reformasi dan Amien Rais. Tokoh sentral, bahkan disebut-sebut sebagai bapak reformasi ini begitu fasih bicara sosial dan politik, dan selalu menjadi magnet bagi mahasiswa dan masyarakat untuk mengakhiri pemerintahan Soeharto. Perjuangan Amien Rais dan para mahasiswa ketika itu, menjadi dambaan bagi setiap orang yang menginginkan perubahan kondisi bangsa ke arah yang lebih baik. Perjalanan panjang itu pun mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan anak bangsa.
Usai Amie Rais berhasil merobohkan kediktatoran pemerintahan Soeharto, Amien yang saat itu masih menjabat Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah berkeinginan kembali mengurusi Muhammadiyah. Namun keinginannya tersebut harus berhadapan dengan tuntutan dan harapan besar yang terlanjur dipikulkan ke pundaknya.
"Baharuddin Lopa kemudian mengungkapkan, “Amien Rais sudah berhasil merobohkan kediktatoran, kini rakyat menunggu bagaimana ia membangun”.
Bahkan dengan kalimat yang lebih lantang pengamat politik Eep Saefullah Fattah menyatakan, “jika Amien masih berpikir sebagai moralis ansich yang tak serius mengejar target kepemimpinan nasional, maka sebetulnya ia telah berkhianat kepada konstituen yang telah membesarkannya. Bahkan bisa dikatakan tidak bertanggungjawab, mengingat amanat reformasi sebagian besar publik belum tuntas ia tunaikan”.
Hal itu kemudian membuatAmien Rais dilema membawanya ke dalam rapat PP. Muhammadiyah. Hasilnya, sebagian dari peserta rapat mengharapkan ia agar meneruskan perjuangannya dengan cara terjun ke panggung politik, sementara peserta rapat lainnya menganggap tugasnya sebagai cendikiawan sudah selesai dan sudah saatnya pulang kandang mengurusi Muhammadiyah. Dalam dilema seperti inilah kemudian Amien Rais mengambil keputusan yang ia sebut sebagai “ijtihad politik” untuk terus berjuang lewat partai politik.
Persoalan yang timbul kemudian adalah, apakah Amien harus membuat partai politik baru atau bergabung dengan partai yang telah ada saat itu. Pada saat itu juga timbul desakan dari Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah dan DKI Jakarta agar Amien Rais mendirikan partai baru dan menolak bergabung dengan partai lama.
Desakan lainnya juga muncul dari berbagai kalangan, misalnya MARA (Majelis Amanat Rakyat), PPSK (Pusat Pengkajian Strategi Kebijakan), kelompok Tebet Society, para tokoh-tokoh Muhammadiyah dan lain-lainnya.
Pada tanggal 5-7 Juli 1998 dilaksanakan lah Tanwir Muhammadiyah di Semarang yang dihadiri jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah serta utusan dari tingkat wilayah (propinsi) se-Indonesia. Dalam Tanwir tersebut, point penting diambil adalah agar Muhammadiyah membentuk partai baru sebagai wadah aspirasi bagi warganya. Namun dalam keputusan resminya bahwa Muhammadiyah tidak akan pernah berubah menjadi partai politik, tetapi warga Muhammadiyah diberi kebebasan dan keleluasaan untuk terlibat dalam parpol sesuai dengan minat dan potensinya.
Sebelum mematangkan niatnya untuk mendirikan parpol, Amien banyak berjumpa dengan beberapa tokoh, baik dari kalangan parpol yang sudah berdiri lama seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) maupun dari tokoh Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII). Dalam suatu kesempatan, Amien Rais berkunjung ke rumah Anwar Harjono. Pada saat itu Anwar Harjono mengharapkan agar Amien mau memimpin sebuah parpol baru yang akan didirikan oleh tokoh-tokoh DDII. Bahkan, Yusril Ihza Mahendra ketika itu menyatakan dukungannya kepada Amien Rais via telepon. Dalam ceramah atau wawancara dengan para wartawan, Amien Rais juga menyinggung kemungkinan ia mendirikan parpol baru bersama Yusril Ihza Mahendra.
Namun bersamaan dengan itu, ia selalu menyebutkan bahwa nama partai yang akan didirikannya itu adalah Partai Amanat Bangsa (PAB), sebuah partai terbuka yang akan mengakomodasi seluruh potensi anak bangsa.
Pada tanggal 18 Juli 1998 pagi, Amien Rais kembali berkunjung ke rumah Anwar Harjono dengan ditemani Dawam Rahardjo. Saat itu hadir juga tokoh- tokoh teras PPP di antaranya Buya Ismail Hasan Meutarum, Aisyah Amini dan Husein Umar. Saat itu, mereka menawarkan kepada Amien Rais untuk bergabung dengan PPP. Husein Umar menyatakan bahwa bagaimanapun PPP adalah hasil fusi dari partai-partai Islam. Karena itu sebagai salah seorang tokoh umat, Amien Rais mempunyai kewajiban untuk menyelamatkan umat dari perpecahan. Sementara itu, Dawam Rahardjo menentang keras usulan ini, bahkan secara tegas mendorong Amien Rais agar segera membuat parpol baru. Dalam pertemuan tersebut, tidak ada sebuah keputusan atau kesepakatan penting yang diperoleh.
Pada tanggal 22 Juli 1998, Amien Rais menghadiri pertemuan MARA di hotel Borobudur. Dalam acara yang membahas situasi politik mutakhir tersebut, hadir antara lain Gunawan Mohammad, Fikri Jufri, Dawam Rahardjo, Zumrotin dan Ismed Hadad. Mereka kemudian menyimpulkan, bahwa terombang-ambingnya Amien Rais disebabkan karena kelambanan dan tidak adanya sikap yang tegas dari MARA. Dari diskusi tersebut, Gunawan Mohammad kemudian menyimpulkan bahwa disepakati perlunya MARA mempersiapkan pembentukan partai di samping fungsinya semula sebagai gerakan moral.
Kemudian pada tanggal 23 Juli 1998, Amien Rais bertemu dengan tokoh- tokoh PPP di kawasan Pondok Indah. Dalam acara tersebut hadir Bachtiar Chamsyah, Aisyah Amini, Faisal Baasir, Yusuf Syakir, Fuad Bawazir dan lain-lain. Dalam pertemuan tersebut, pokok pembicaraannya adalah bagaimana supaya Amien Rais mau bergabung dengan PPP agar citra reformis itu melekat dalam tubuh PPP. Bahkan Amien Rais ditawari menjadi ketua PPP dalam muktamar PPP yang akan segera dipercepat. Akan tetapi, lagi-lagi Amien Rais belum memberikan keputusannya.
Selanjutnya pada tanggal 27 Juli 1998, Amien Rais kembali menghadiri pertemuan MARA di Galeri Cemara, Jakarta. Turut hadir dalam acara tersebut, Gunawan Mohammad, Mochtar Pabotinggi dan Albert Hasibuan. Selesai pertemuan, diadakan konferensi pers. Dalam kesempatan itu Amien Rais menyinggung lagi tentang rencana pendirian parpol baru. Ia menyebut bahwa platform partai saat itu sedang dipersiapkan. Lebih lanjut diutarakannya bahwa untuk bidang politik dipimpin oleh Mochtar Pabotinggi, bidang hukum oleh Albert Hasibuan sedangkan bidang ekonomi akan ditangani oleh Anggito Abimanyu dan Faisal Basri.
Amien Rais kembali bertemu dengan tokoh-tokoh PPP di Pondok Indah. Dalam kesempatan ini ia mengutarakan tertarik untuk bergabung dengan PPP. Namun, katanya ibarat rumah, PPP perlu diperbanyak kamarnya, diperluas ruang tamunya, diperbesar dapurnya, karena akan hadirnya penghuni baru tanpa menggusur yang lama. Menanggapi usulan Amien Rais tersebut, Yusuf Syakir yang menjadi juru bicara PPP ketika itu menyampaikan agar Amien Rais masuk dulu ke PPP dan usulannya nanti akan dibahas di muktamar PPP.
Usai pertemuan tersebut, Amien Rais langsung berangkat menuju kantor Amin Azis di kawasan Tebet, Jakarta. Di sana telah menunggu beberapa tokoh seperti Syafi’i Ma’arif, Sutrisno Muchdam, A.M. Fatwa dan Dawam Rahardjo. Mereka mendiskusikan tentang untung ruginya mendirikan parpol baru atau konsekuensi bergabung dengan PPP. Kesimpulannya, baik mendirikan parpol baru maupun bergabung dengan PPP sama-sama memiliki keunggulan dan kelemahannya. Idealnya, bila ada partai yang akan dilahirkan MARA dapat dimergerkan dengan PPP.
Pada tanggal 3 Agustus 1998, Amien Rais kembali bertemu dengan tokoh- tokoh PPP di Pondok Indah. Hadir dalam acara tersebut antara lain Yusuf Syakir, Aisyah Amini, Tosari Wijaya, Bachtiar Chamsyah, Ali Hardi Kyai Demak, Faisal Baasir dan Salahuddin Wahid. Sementara itu Amien Rais ditemani oleh Sutrisno Muchdam, Rusdi Hamka, Fuad Bawazir, Soenoto dan Sutrisno Bachir selaku tuan rumah. Dalam pertemuan tersebut, kemungkinan Amien Rais bergabung dengan PPP semakin kongkrit.
Pada tanggal 5 Agustus 1998, Amien Rais menghadiri pertemuan yang dilaksanakan Wisma Tempo di Sirnagalih, Jawa Barat. Pertemuan ini dihadiri oleh tiga kelompok, yaitu pertama, kelompok PPSK yang diwakili oleh Mochtar Mas’ud, Rizal Panggabean, Chairil Anwar dan Machfud. Kedua, kelompok Tebet yang diwakili oleh Amin Azis, Dawam Rahardjo, A.M. Fatwa, Abdillah Thoha dan A.M. Lutfi. Ketiga, kelompok MARA, diwakili oleh Gunawan Mohammad, Albert Hasibuan, Zumrotin, Nursyahbani Katjasungkana dan Ismed Hadad.
Ada dua agenda besar yang harus dirumuskan dalam pertemuan itu. Pertama, menyusun platform partai. Kedua, menyepakati formatur yang akan ditugasi untuk menyusun kepengurusan. Melalui voting, nama partai kemudian disepakati dengan nama Partai Amanat Nasional (disingkat PAN). Ketua Formatur ditetapkan Amien Rais, dengan delapan anggota yaitu Gunawan Mohammad, Zumrotin, Abdillah Thoha, A.M.Lutfi, A.M. Fatwa, Ismed Hadad, Albert Hasibuan dan Rizal Panggabean.
Komunikasi politik yang dilakukan dengan berbagai tokoh politik dari PPP terus dilakukan oleh Amien Rais. Nampaknya tidak terdapat kesepakatan Amien Rais dengan PPP maupun PBB. Dalam suatu kesempatan, Amien Rais muncul di televisi menyampaikan kepada publik bahwa ia akan mendirikan sebuah partai baru. Partai tersebut nantinya lintas etnik maupun lintas pemikiran. Partai tersebut diharapkan bisa dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1998, bertepatan dengan hari kemerdekaan.
Maka mulai saat itu semua persoalan menjadi jelas. Segala spekulasi dan kesimpangsiuran berita seputar rencana Amien Rais mendirikan parpol baru, dan juga tarik-menarik antar berbagai kekuatan politik untuk meminangnya, berakhir sudah. Amien Rais akan tampil dengan partai baru, baru dalam segala aspeknya, baru lembaganya, baru orang-orangnya, baru visinya serta baru nama dan lambang partainya.
Akhirnya dalam rapat pleno PP. Muhammadiyah pada tanggal 22 Agustus 1998 di gedung Dakwah Muhammadiyah Jakarta, Amien Rais mohon izin untuk mendirikan dan memimpin partai politik yang diberi nama PAN dan akan dideklarasikan pada tanggal 23 Agustus 1998. Semula deklarasi akan dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 1998, namun karena ada faktor teknis deklarasi tersebut baru bisa dilakukan pada tanggal 23 Agustus 1998. Deklarasi PAN dilaksanakan pada hari Ahad/Minggu di Istora Senayan yang dihadiri oleh puluhan ribu massa.
|
Amien Rais |
Maka secara resmi berdirilah Partai Amanat Nasional (PAN) dengan ketua umum Amien Rais didampingi oleh A.M. Fatwa, A.M. Lutfi, Muhammadi, Amin Azis, Abdillah Thoha, Dawam Rahardjo, Toeti Herati, Sindhunata sebagai unsur ketua, sedangkan sekretaris jenderal adalah Faisal Basri didampingi Patrialis Akbar, M.Najib, Afni Ahmad, Hakam Naja, al-Hilal Hamdi dan Hasballah M. Saad sebagai wakil sekjen.
Kelahiran Partai Amanat Nasional (PAN) dibidani Majelis Amanat Rakyat (MARA), salah satu organ gerakan reformasi pada era pemerintahan Soeharto, PPSK Muhamadiyah, dan Kelompok Tebet. PAN dideklarasasikan di Jakarta pada 23 Agustus, 1988 oleh 50 tokoh nasional, di antaranya Prof. Dr. H. Amien Rais, mantan Ketua umum Muhammadiyah, Goenawan Mohammad, Abdillah Toha, Dr. Rizal Ramli, Dr. Albert Hasibuan, Toety Heraty, Prof. Dr. Emil Salim, Drs. Faisal Basri MA, A.M. Fatwa, Zoemrotin, Alvin Lie Ling Piao dan lainnya.
Berdirinya Partai Amanat Nasional oleh Prof.DR.H.Amien Rais,MA dan kawan-kawannya di MARA, Amien Rais mengundang anggota PP dan PW Muhammadiyah se-Indonesia. Hampir dipastikan semua ketua PW Muhammadiyah hadir memenuhi undangan tersebut, Amien Rais menjelaskan didukung oleh tokoh- tokoh LSM ternama, marupakan langkah awal saudara Amien Rais memasuki gelanggang politik.
Sehari sebelum deklarasi PAN, bertempat di Kantor Muhammadiyah di Jakarta, dalam kapasitasnya sebagai Ketua Pimpinan Muhammadiyahrencananya untuk mendeklarasikan sebuah partai politik, dimana ia sendiri yang akan memimpinnya, yang akan dilaksanakan keesokan harinya di Istora Senayan.
Lahirnya PAN mendapat sambutan yang luar biasa dari kelas menengah perkotaan. Umumnya mereka yang memiliki latar belakang pendidikan yang memadai, disamping mapan secara ekonomi. Mereka umumnya pedagang, wirausahawan, profesional dan pegawai negeri, serta didukung oleh beberapa organisasi keagamaan seperti Tokoh-tokoh dan Simpatisan Muhammadiyah, HMI, PII, Al- Irsyad Al- Islamiah, ormas-ormas Islam yang dulu sebagai pendukung Masyumi, Cendekiawan Kampus dan Tokoh LSM.
Meskipun wilayah tersebut sesungguhnya telah dirambahnya sejak lama, namun saat itu Amien Rais bermain dalam taraf pemikiran. Maka berdirinya PAN bisa jadi merupakan langkah strategis untuk menajamkan pemikirannya memasuki wilayah realitas pertarungan politik.
Dengan menyimak platform yang dibangun, nampaklah bahwa PAN merupakan partai masa depan dalam rangka merealisasikan pemikiran kebangsaan yang ditransparansikan oleh tokoh-tokohnya sehingga diharapkan terjadi dialektika yang sehat. Atau denganbahasa lain PAN lebih menawarkan visi yang siap dipertarungkan dan bukan sekedar jargon yang berangkat dari konsepsi politik aliran.
Hal ini berbeda dengan partai-partai pada masa Orde Baru yang walaupun tidak berangkat dari konsepsi politik aliran, namun sesungguhnya tidak pernah membangun dialektika pemikiran bersama masyarakat, sehingga lebih merupakan partai yang dirancang untuk membangun perolehan-perolehan politik tanpa visi karena perancangan visi telah dimonopoli oleh penguasa.
Maka fenomena PAN sesungguhnya meningkatkan beberapa partai yang belum mensosialisasikan visi perjuangannya untuk berani mengadu konsep tentang bagaimana masa depan bangsa ini, agar pemerintah model rezim Orde Baru yang monopoli tidak terulang lagi.
Partai Amanat Nasional adalah Partai Politik yang memperjuangkan kedaulatan rakyat, demokrasi, kemajuan dan keadilan sosial. Cita-cita partai ini berakar pada moral agama, kemanusiaan dan kemajemukan
Partai Amanat Nasional mencita-citakan suatu masyarakat Indonesia yang demokratis, berkeadilan sosial, otonom dan mandiri. Partai ini menginginkan tatanan yang memungkinkan setiap manusia dapat mengembangkan kepribadiannya dalam kebebasan Setiap manusia dapat berperan serta dalam kehidupan politik, ekonomi, budaya dan berperan serta dalam usaha-usaha mengembangkan kemanusiaan.
Partai Amanat Nasional merupakan partai yang menghormati dan mendorong kemajemukan. Partai ini merupakan kumpulan manusia Indonesia yang berasal dari berbagai keyakinan, pemikiran, latar belakang etnis, suku, agama dan jender. Partai ini menganut prinsip non –seektarian dan non diskriminatif. Kesepakatan ini adalah berdasarkan prinsip dasar bersama dan cita-cita politik yang sama.
Partai Amanat Nasional menentang segala bentuk kediktatoran, totaliterisme dan otoriterisme, karena berlawanan dengan harkat dan martabat manusia, memasung kebebasan dan menghancurkan hukum. Partai ini menjunjung tinggi demokrasi, untuk mewujudkan tatanan sosial dan politik yang memungkinkan masyarakat madani mengawasi kekuasaan.
Partai Amanat Nasional akan bersaing dengan partai-partai lain secara terbuka, adil dan jujur untuk meraih dukungan rakyat. Hak warga negara untuk berorganisasi dijamin. Asosiasi-asosiasi berdasarkan kesamaan tujuan, diperlukan sebagai sarana kehidupan baru. Pers dijamin kebesannya. Untuk menjamin hak masyarakat memperoleh informasi, media massa harus indefenden dalam mengumpulkan, mengolah dan menyiarkan berita.
Partai Amanat Nasional memperjuangkan dihentikannya penyelewengan kekuasaan. Partai ini berjuang untuk menegakkan hukum tanpa diskriminasi. Seluruh masyarakat harus mendapat akses pada sistem peradilan yang independen, adil dan murah.
Partai ini mendukung gagasan reformasi konstitusi untuk menjamin kedaulatan rakyat dan dibatasinya kekuasaan negara, serta berlangsungnya demokratisasi.
Partai Amanat Nasional berpendirian krisis yang dialami bangsa Indonesia berakar pada politik rezim Orde Baru yang melecehkan kedaulatan rakyat. Karenanya partai ini menentang setiap usaha yang mencoba mengembalikan kekuasaan Orde Baru dan para pendukungnya kepanggung politik. Tatanan Orde Baru mesti diganti sama sekali. Pertahanan negara merupakan usaha segenap masyarakat untuk mempertahankan tanah air. Perlindungan penduduk sipil merupakan bagian terpenting dari pertahanan negara.
Partai Amanat Nasional berpendirian ABRI harus tunduk pada hukum, konstitusi, dan berada dibawah kontrol publik. ABRI berfungsi sebagai alat negara untuk menjaga keamanan negara, dan tidak mencampuri apalagi mendominasi urusan politik, ekonomi dan sosial. Polisi mesti dipisahkan dari struktur ABRI.
Kebijakan ekonomi Partai Amanat Nasinal bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial lewat kemakmuran yang berkeadilan dengan berlandaskan moralitas serta menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Kemakmuran ditopang oleh tiga pilar utama, yakni pertumbuhan yang dinamis, stabilitas dan efesiensi. Sedangkan keadilan disangga oleh kebebasan, persamaan dan tertib sosial
Pembangunan ekonomi tak mengenal perbedaan ras, suku, dan agama. Partai Amanat Nasional memperjuangkan pemberian kesempatan yang sama bagi semua aktor untuk mewujudkan segala potensi yang dimilikinya bagi penguatan daya saing nasionalPemberdayaan pengusaha kecil dan koperasi lebih ditekankan pada penghapusan segala hambatan usaha dan kontrol karena karakteristik alamiah yang melekat padanya dan sebaliknya memperlancar bagi terkuaknya faktor-faktor dinamis yang dimilikinya. Partai Amanat Nasional memperjuangkan kebebasan koperasi dari kekangan birokrasi dan alat politik penguasa.
Strategi pembangunan orde baru yang terbukti membangkrutkan ekonomi bangsa, mesti ditinggalkan. Partai Amanat Nasional menginginkan suatu strategi lain untuk membangun Indonesia baru, yang mendasarkan diri pada berbagai faktor secara menyeluruh dan memihak kepada mereka yang lemah.
Ekonomi diatur berlandaskan sistem perekonomian pasar yang kuat, lentur dan dapat dengan cepat mengatasi krisis. Perekonomian itu disusun bersamaan dengan penataan kehidupan politik yang demokratis, tegaknya hukum, serta pranata sosial yang mendukungnya. Partai Amanat Nasional berkeyakinan bahwa kebijakan ekonomi harus menjamin kesempatan kerja, meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan umum.
Partai Amanat Nasional berpendirian bahwa tujuan pembangunan nasional hanya bisa terwujud dengan ditegakkannya persaingan yang sehat. Untuk itu mekanisme pasar harus diimbangi dengan penegakan pemerintah bersih dan efektif untuk memungkinksn terciptanya keserasian antara kepentingan perseorangan dan kepentingan masyarakat. Peran pemerintah lebih ditekankan pada penciptaan jaring-jaring pengaman dan kebijakan menyetarakan peluang diantara berbagai pelaku ekonomi dengan memperhatikan asas keadilan.