Menelusuri kisah hidup sosok Agus Salim, pastinya layak dijadikan rujukan bahkan contoh atas intrik, pola juga kebiasaan para pemimpin, politisi, pejabat dewasa ini.
Agus Salim dikisahkan pernah ngontrak rumah mungil dengan satu ruangan besar di Jatinegara, Jakarta, diantara gang sempit, berkelok dan diatara rumah yang begitu padat. Dirinya tak pernah menyurutkan semangat dan pengabdiannya bagi Indonesia bahkan pula harus malu berada dibawah standart kenyamanan seorang pejabat negara.
Dikontrakkan yang lain pula, Agus Salim, sesekali mengubah letak meja, kursi, lemari dan tempat tidurnya. Terkadang kamar makan ditukarnya dengan kamar tidur. Haji Agus Salim berpendapat, bahwa dengan berbuat demikian ia merasa mengubah lingkungannya tanpa pindah tempat atau pergi istirahat kota atau negeri lainnya.
Mr. Roem, murid H. Agus Salim yang juga tokoh Masyumi pernah dikisahkan oleh Anies yakni, Agus Salim: Kesederhanaan, Keteladanan yang Menggerakan’. didalamnya menyebutkan bahwa H. Agus Salim hidup sebagai Menteri dengan pola ‘nomaden’ atau pindah dari kontrakkan satu ke kontrakkan lain.
Profesor Willem “Wim” Schermerhorn yang juga ketua delegasi Belanda dalam perundingan Linggarjati. (Majalah Tempo Edisi Khusus Agus Salim) mengungkapkan, dari satu gang ke gang lain berkali-kali Agus Salim pindah rumah bersama keluarganya.
Foto Haji Agus Salim (Menteri Luar Negeri RI di Zaman Pemerintahan Soekarno) |
Pernah, di salah satu kontrakkannya toilet rusak. Setiap Agus Salim menyiram WC, air dari dalam meluap. Sang istri pun menangis sejadi-jadinya, karena baunya yang meluber dan air yang meleber. Zainatun Nahar istrinya,tak kuat lagi menahan jijik sehingga ia muntah-muntah. Agus Salim akhirnya melarang istrinya membuang hajat WC kemudian Agus Salim yang membuang kotoran istrinya menggunakan pispot.
Kasman Singodimedjo (tokoh Muhammadiyah dan Masyumi Ketua KNIP Pertama), pula turut mengisahkan bahwa dalam ‘Hidup Itu Berjuang’ mengutip perkataan mentornya yang paling terkenal: “leiden is lijden” (memimpin itu menderita) kata Agus Salim. Lihatlah bagaimana tak ada sumpah serapah meminta kenaikan jabatan, tunjangan rumah dinas, tunjangan kendaraan, tunjangan kebersihan WC, tunjangan dinas ke luar negeri untuk pelesiran, dan lainnya bagi dirinya.
Lebih inspiratif lagi, saat salah satu anak Salim wafat, dirinya bahkan tak punya uang untuk membeli kain kafan. Salim membungkus jenazah anaknya dengan taplak meja dan kelambu. Ia menolak pemberian kain kafan baru.
“Orang yang masih hidup lebih berhak memakai kain baru,” kata Salim dengan melanjutkan, untuk yang mati, cukuplah kain itu.
Dalam Buku ‘Seratus Tahun Agus Salim’ Kustiniyati Mochtar menulis, “Tak jarang mereka kekurangan uang belanja.” Ya, seorang diplomat ulung, Menteri, pendiri Bangsa yang mewakafkan dirinya untuk mengabdi, dan berprinsip bahwa memimpin itu adalah ibadah.
Seorang yang memilih jalan becek dan sunyi, berjalan kaki dengan tongkatnya dibanding gemerlap karpet merah dan mobil Land Cruiser, Alphard, dan gemerlap jantung kota lainnya. Kita tentu rindu sosok seperti mereka, bukan tentang melaratnya mereka, tapi tentang ruang kesederhanaan yang mengisi kekosongan nurani rakyat. (MO3)
Post a Comment